MAKALAH KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL
MAKALAH KEWARGANEGARAAN
IDENTITAS NASIONAL
![]() |
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. ATTIN CAHYA TAMARA
2. BELLA YOLANDIA SARI
3. DINA OCTARIA
4. FERIYANA
5. INTAN KOMALA SARI
POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
JURUSAN DIII
KEBIDANAN
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puja
dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Identitas Nasional Dan Nasionalisme”
tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih pada
pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Untuk itu setiap pihak diharapkan dapat memberikan
masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.
Bandar Lampung, Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Identitas nasional secara terminologis
adalah suatu cirri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.Berdasarkan perngertian yang
demikian ini maka setiap bangsa didunia ini akan memiliki identitas
sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,sifat,cirri-ciri serta karakter dari
bangsa tersebut.Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional sebagai mana
di jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa tidak dapat di
pisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut dengan
kepribadian suatu bangsa.
Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok
besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga
mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup
bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu kesatuan nasional.
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas
nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan ke arah sifat kreatif serta
dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945,
berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami
kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan, sehingga tidak membawa
kemajuan bangsa dan Negara. Dengan latar belakang yang telah disebutkan diatas
maka kajian menyeluruh tentang identitas nasional akan dibahas di dalam makalah ini pada bab pembahasan.
B.
Perumusan
Masalah
Apa dan bagaimana hakikat identitas nasional Indonesia
ditengah era globalisasi saat ini ?
C.
Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan tentang hakikat identitas nasional Indonesia
ditengah era globalisasi saat ini.
D.
Batasan
Masalah
Batasan-batasan masalah hanya
membahas tentang hakikat identitas nasional Indonesia ditengah era globalisasi
saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Identitas Nasional
- Identity : ciri-ciri, tanda atau jati diri
- Term antropologi : identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau negara sendiri.
Nasional merupakan identitas yang
melekat pada kelompok- kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non
fisik, seperti keinginan,cita-cita dan tujuan. Jadi adapun pengertian identitas
sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang
atau sesuatu yang bisa membedakannya.
Kata “identitas” berasal dari kata
“identity” yang berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada
seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan orang lain, contohnya bendera
dan lagu kebangsaan setiap negara akan berbeda dengan negara lain. Sedangkan
dalam terminologi antropologi kata “identitas” diartikan sebagai sifat khas
yang menerangkan dan sesuai dengan kasadaran diri sendiri, golongan, kelompok,
komunitas atau negara lain.
Kata “nasional” bearti identitas yang
melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama dan bahsa maupun non fisik
seperti keinginan, cita-cita dan tujuan.
Oleh karena itu identitas nasional dapat
disimpulkan bahwa pada hakikatnya adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri
khasnya dan dengan ciri khas tersebutlah suatu bangsa akan berbeda dengan
bangsa lain. Sehingga dengan demikian, maka identitas nasional akan melahirkan
tindakan kelompok yang disebut atribut nasional.
Pengertian lain dari Identitas nasional
adalah suatu ciri khas yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Pengertian identitas nasional menurut
beberapa pakar :
Ø Berger
: Dalam bukunya
yang berjudul “The Capitalis Revolution” era globalisasi dewasa ini ideologi
kapitalislah yang akan menguasai dunia serta mengubah masyarakat satu persatu
menjadi sistem internasional yang menentukan nasib bangsa-bangsa dibidang
sosial, politik, dan kebudayaan.
Ø Fujukama : Membawa perubahan ideologi partikuker
keraah universal dan kapitalismelah yang akan menguasai dunia. Dalam menghadapi
proses perubahan tersebut sangat tergantung kemampuan bangsa itu sendiri.
Ø Toyanbee : Ciri khas ciri suatu bangsa yang
merupakan lokal genius dalam menghadapi tantangan dan respon. Jika tantangan
besar sementara respon kecil maka bangsa tersebut akan punah. Namun apabila
tantangan kecil sementara respon besar maka bangsa tersebut akan berkembang
menjadi bangsa yang kreatif.
Kepribadian seabagai suatu identitas
nasional suatu bangsa adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian
individu-individu sebagai urutan yang membentuk bangsa tersebut. Identitas nasional
tidak dapat dipisahkan dengan pengertian peoples character atau national
identity.
Menurut Robert De Ventos dalam bukunya
“The Power of Identity”, ia mengemukakan bahwa selain faktor intensitas,
teritorial, bahasa, agama serta budaya juga harus dipahami dalam konteks arti
dinamis yaitu bangsa tersebut melakukan akselerasi dalam pembangunan termasuk
proses interaksinya secara global dengan dunia internasional.
Identitas nasional pada hakikatnya
merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri
khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan
kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu
merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang
sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek
kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan
Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh
Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
A. Hakikat
Identitas Nasional
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan
bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya
tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya
dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan,
nilai-nilai etik, moral, tradisi,
bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normative diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normative diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
Perlu dikemukakan bahwa nilai-nilai
budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang
terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan
yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan
implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan
dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan
funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Hakikat identitas nasional indonesia
adalah pancasila yang diaktualisasikan dalam bergagai kehidupan dan berbangsa.
AKTUALISASI ini untuk menegakkan pancasila dan uud 45 sebagaimana dirumuskan
dalam pembukaan uud 45 terutama alinea ke 4.
Krisis multidimensi yang kini sedang
melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya
untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen
konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam
pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu :
“Pemerintah
memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “
yang
diberi penjelasan :
”
Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan dengan tidak menolak bahan-
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen
dalam satu naskah (disebutkan dalam Pasal 32):
1.
Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai
budaya.
2.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Dengan
demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan
mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas
dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah
terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan
Klukhohn di tahun 1952.
B. Makna
Identitas Nasional
Identitas nasional pada hakikatnya
adalah manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek
kehidupan satu bangsa (nation)
dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda
dengan bangsa lain dalam kehidupannya.
Dalam terminologi antropologi, identitas
bermakna sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi
sendiri, golongan, kelompok, komunitas atau negara sendiri. Kata “nasional”
dalam identitas nasional merupakan identitas yang melekat pada
kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik
fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan,
cita-cita dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa
melahirkan tindakan kelompok (collective
action yang diberi atribut nasional). Nilai-nilai budaya yang berada
dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam
identitas nasional, bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan
normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus
menerus berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat
pendukungnya.
Identitas bangsa (national identity) sebagai suatu
kesatuan ini biasanya dikaitkan dengan nilai keterikatan dengan tanah air (ibu
pertiwi), yang terwujud identitas atau jati diri bangsa dan biasanya
menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain, yang
pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau nasionalisme. Rakyat dalam
konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada mereka yang berada pada status
sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh struktur sosial yang ada. Semua
terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka adalah satu. Bahkan ketika
berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas pada realitas yang
dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup saat ini,
melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang belum lahir.
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa makna identitas nasional kita
sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita
dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD 1945, sistem pemerintahan
yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi, dan
lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam
tataran nasional maupun internasional. Dimana identitas nasional akan
menumbuhkan sifat nasionalisme atau kebangsaan masyarakat sebagai semangat
perjuangan dalam kehidupan bernegara. (Dikdik
Baehaqi, 2011)
C. Ideologi
nasional di tengah globalisasi
Proses pembentukan identitas nasional
bukan merupakan sesuatu yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan
terus berkembang mengikuti perkembangan jaman. Akan terjadi pergeseran nilai
dari identitas itu sendiri apabila identitas itu tidak dapat dijaga dan
dilestarikan, sehingga mengakibatkan identitas global akan mempengaruhi nilai
identitas nasional itu sendiri.
Secara umum globalisasi adalah suatu
perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara
masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturisasi dan
perkembangan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat di terapkan dalam
berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya memahami globalisasi
adalah suatu kebutuhan, mengingat majemuknya fenomena tersebut.
Salah satu isu penting yang mengiringi
gelombang demokrasi adalah munculnya wacana multikulturisme. Multikulturisme
adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa
memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa maupun agama.
Karakter masyarakat multikultur adalah
toleran. Mereka hidup dalam semangat hidup berdampingan secara damai. Dalam
perspektif multikulturisme, baik individu maupun kelompok hidup dalam societal
cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mereka. Ini adalah harapan
kita semua, bagaimana kita dapat mengadopsi nilai dan budaya dari luar yang
baik bagi bangsa ini serta adanya badan pengawasan serta pengembangan budaya
asli Indonesia dari Pemerintah, jangan sampai budaya tersebut menjadi terkikis
dan hilang dari masyarakatnya sendiri, akibat dari arus globalisasi yang begitu
Hakikat kemerdekaan suatu negara akan
tampak disaat negara itu dapat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
budayanya sendiri, dan selalu membuka diri terhadap nilai positif dari luar
baik itu yang berbentuk budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Untuk menjaga identitas nasional maka
hendaknya sebagai rakyat Indonesia tetap menjaga budaya asli bangsa Indonesia.
Karena identitas nasional yang tidak kuat akan dapat tergeser oleh adanya arus
globalisasi. Efeknya adalah nilai nilai khas yang berasal dari Indonesia akan
pudar, hilang terganti oleh budaya dan nilai bangsa lain akibat globalisasi.
Perlu adanya penyaringan budaya dan nilai dari bangsa luar yang tidak sesuai
dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia. Sehingga identitas nasional tidak
akan berubah melenceng dari nilai kebangsaan yang luhur. (swarajalanan.blogspot.com/2011/10/pengaruh-globalisasi-terhadap-identitas)
D.
Unsur – Unsur Pembentuk
Identitas Nasional
Pada hakikatnya, Identitas Nasional
memiliki empat unsur:
1. Suku Bangsa: golongan social yang khusus yang
bersifat askriftif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur
dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa, kuran lebih
360 suku.
2.
Agama: bangsa indonessia dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agama – agama yang
berkembang di Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai
agama resmi Negara Indonesia namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid, istilah agama resmi telah dihapuskan.
3.
Kebudayaan: merupakan pengetahuan manusia sebagai makhlu sosial yang berisikan
perangkat – perangkat atau model – model pengetahuan yang secara kolektif
digunakan oleh pendukung – pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami
lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak dalam
bentuk kelakuan dan benda – benda kebudayaan.
4.
Bahasa: merupakan usur komunikasi yang dibentuk atas unsur – unsur bunyi ucapan
manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.
Menurut Syarbani dan Wahid dalam bukunya
yang berjudul Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan
Kewarganegaraan, keempat unsur Identitas Nasional tersebut diatas dapat
dirumuskan kembali menjadi 3 bagian:
1. Identitas
Fundamental: berupa Pancasila yang menrupakan Falsafah Bangsa, Dasar
Negara, dan Ideologi Negara.
Negara, dan Ideologi Negara.
2. Indetitas
Instrumental: berupa UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa
Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, dan Lagu Kebangsaan.
Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, dan Lagu Kebangsaan.
3. Indetitas
Alamiah: meliputi Kepulauan (archipelago) dan Pluralisme dalam suku,
bahasa, budaya dan kepercaraan (agama).
bahasa, budaya dan kepercaraan (agama).
E.
Perwujudan Identitas
Nasional (Sejarah Jati Diri Bangsa Indonesia)
Ø Masa
Kejayaan Nusantara (sebelum masa pergerakan nasional) 1293-1478
1. Sriwijaya
- Berhasil
menguasai wilayah Indonesia
- Masa dimulainya pelatakan dasar-dasar
kebudayaan dan peradaban manusia
2.
Majapahit
-
Patih Gajah Mada “Tan
Mukti Palapa lamung durung Purna Hmusthi Nuswantara”(Tidak akan makan buah
palapa sebelum dapat mempersatukan Nusantara,tidak akan menikah sebelum
berhasil “Indonesia Merdeka”)
Ø Perlawanan
Patiunus dalam Perjuangan menentang penjajahan 1512-1513
Ø Perang
Aceh dalam perjuangan menentang perjuangan 1873-1907
Ø
Budi Oetomo Berbasis
Sub Kultur Jawa 1908,pergerakan dan
kebangkitan Nasional yang menumbuhkan jiwa kebangsaan (Nasional dan Patriotisme)
Ø
Sumpah Pemuda 1928,
yang isinya :
Bertanah air satu, Tanah Air Indonesia
Berbangsa satu, Bangsa Indonesia
Berbahasa satu, Bahasa Indonesia
Sumpah
Pemuda ini menumbuhkan jiwa dan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap berkeyakinan
bahwa semangat Sumpah Pemuda tersebut tetap significan dan relevan hingga waktu
sekarang dan yang akan datang.
3.
Pada masa Proklamasi
17-8-1945, yang merupakan :
a)
Titik kulminasi perjuangan Bangsa Indonesia
b)
Untuk membebaskan diri dari cengkraman penjajah
c)
Menjadi momen kemerdekaan
d)
The Declaration of Indonesian
e)
Independence ke seluruh dunia
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia telah mempunyai jiwa dan semangat kejuangan, cinta tanah air,
patriotisme, nasionalisme,persatun dan kesatuan, pantang mundur, pantang
menyerah, merdeka atau mati, gotong royong, rela berkorban, sebagai wujud jati
diri bangsa Indonesia.
4.
Manusia Indonesia yang
di pengaruhi lingkungan fisik dan demografis,serta system nilai yang diwarisi
dari zaman ke zaman.
5.
Pengaruh kebudayaan
Hindu dan Budha,di lanjutkan dengan kebudayaan Islam dan Barat,saling
berinteraksi dengan nilia-nilai local. Pergulatan nilai itu membentuk karakter
manusia Indonesia yang bergerak dinamik.
F. Implementasi identitas
nasional
Implementasi atau penerapan tentang
identitas nasional harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan
pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, identitas nasional menjadi pola yang mendasari
cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah
menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara.
Contoh sederhana dari implementasi
identitas nasional yaitu kewajiban diadakanya upacara bendera setiap hari senin
pada seluruh instansi sekolah maupun non sekolah. Dalam upacara bendera,
terdapat banyak sekali unsur identitas negara. Seperti pengibaran sang saka
merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menyanyikan lagu nasional lain,
pembacaan UUD 1945, pembacaan Pancasila, dan pada penutup di akhiri dengan doa
(agama). Kegiatan upacara ini dilaksanakan dari tingkat SD hingga SMA, bahkan
ada Perguruan Tinggi yang melaksanakan Upacara Bendera. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat sudah dijarkan bagaimana mengimplementasikan identitas
nasional sejak dini. Namun, masih banyak yang tak acuh dalam kegiatan semacam
ini. Kebanyakan dari mereka menganggap kegiatan upacara hanya sebagai kewajiban
agar terbebas dari hukuman yang sudah diterapkan. Dan juga kurangnya penjelasan
tentang makna dari kegiatan upacara itu sendiri. Sehingga mereka tak acuh
dengan makna dibalik upacara bendera ini.
Implementasi identitas nasional
senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara
utuh dan menyeluruh. Impementasi identitas nasional dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara yamg mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya,dan
pertahanan keamanan harus tercemin dalam pola pikir, pola sikap, dan pola
tindak senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia diatas kepentingan pribadi dan golongan.
G.
Pengaruh
globalisasi terhadap identitas nasional
ü Negatif
:
- akulturasi yang berlebihan
- internasionalisme
- plagiat budaya oranglain
- kacang lupa kulitnya
ü Positif
:
- Lebih cinta tanah air karena ternyata negara
kita punya banyak potensi dan bisa dibanggakan di mata dunia
- sosialisasi identitas nasional
- mengenalkan budaya sendiri
- ikut dalam pembangunan masyarakat dunia dan
berandil dalam setiap pengambilan keputusan sehingga kita tdk akan dirugikan
H. Penyimpangan
Identitas Nasional
Geografis :
§ Kurangnya
kekuatan maritime yang memadai
§ Pertahanan
laut dan udara masih belum di kembangkan dengan optimal. Akibatnya wilayah yang
jauh di pinggir perbatasan merasa di perhatikan dan dijaga dari kemungkinan
datangnya ancaman luar
§ Kebanyakan
daerah perbatasan mengalami kelambanan dalam pembangunan infrakstruktural
transportasi dan komunikasi sehingga mereka kurang berinteraksi dengan wilayah
lin di tanah air,bahkan mereka lebih dekat dengan negara tetangga.
§ Kondisi
geografis yang senjang juga terlihat mencolok antara wilayah pedesaan dengan
wilayah perkotaan. Warga pedesaan merasa tertinggal dan tidak di perhatikan di
bandingkan dengan warga di perkotaan. Muncul berbagai masalah social akibat
ketimpangan pembangunan anatar daerah, dan proses urbanisasi yang tak
berencana.
ü
Demografis :
§ Terjadinya
kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda dalam memandang persoalan
bangsa dan menghadapi tantangan hidup.
ü
Social dan Budaya :
§
Perasaan
senasib-sepenanggungan semakin mencair
§
Kristalisasi nilai
kebangsaan mengalami keretakan di sana-sini
§
Banyaknya pejabat yang
menuntut hak-hak istimewa bagi kepentingan pribadinya, meskipun hak-hak dasar
rakyat pada umumnya belum terpenuhi. Sikap itu pada gilirannya membuahkan
tragedi pemerintahan yang lamban di tengah desakan kepentingan umum akibat
bencana yang terjadi dimana-mana dan kondisi social ekonomi yang diterpa krisis
dari waktu ke waktu
§
Lemahnya kemampuan
bangsa dalam mengelola keragaman.
Gejala tersebut
dapat di lihat dari menguatnya orientasi dalam kelompok, etnik, dan agama yang
berpotensi menimbulkan konflik social dan bahkan disintegrasi bangsa. Masalah
ini juga semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang public yang dapat diakses
dan dikelola bersama masyarakat yang multikultur untuk penyaluran aspirasi.
Dewasa ini muncul kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat karena
desakan ekonomi.
§ Kurangnya
kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan
yang yang tidak kasat mata (intangible). Dalam era otonomi daerah, pengelolaan
kekayaan budaya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kualitas pengelolaan
yang rendah tidak hanya disebabkan oleh kapasitas fiskal, namun juga pemahaman,
apresiasi, kesadaran, dan komitmen pemerintah daerah terhadap kekayaan budaya.
Pengelolaan kekayaan budaya ini juga masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip
tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, apresiasi dan
kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri masih rendah,
antara lain karena keterbatasan informasi.
§ Terjadinya
krisis jati diri (identitas) nasional. Nilai – nilai solidaritas sosial,
kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial yang pernah di anggap sebagai kekuatan
pemersatu dan ciri khas bangsa indonesia, makin pudar bersamaan dengan
menguatnya nilai – nilai materialisme. Demikian pula kebanggaan atas jati diri
bangsa seperti penggunaan bahasa indonesia secara baik dan benar, semakin
terkikis oleh nilai – nilai yang dianggap lebih superior. Identitas nasional
meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak
mampunya bangsa indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi
upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building).
I.
Keterkaitan Globalisasi
terhadap Identitas Nasional
Era Globalisasi merupakan era yang penuh
dengan kemajuan dan persaingan, sedangkan Identitas Nasional sebuah bangsa
merupakan hal yang sangat diperlukan untuk memperkenalkan sebuah bangsa atau
Negara dimata dunia. Dengan adanya Globalisasi, identitas sebuah bangsa dan
Negara dapat mudah dikenalkan dimata internasional atau juga identitas tersebut
mudah tenggelam karena terpengaruh oleh bangsa dan Negara lain. Perlu kita
sadari, bangsa Indonesia yang kita cintai ini sedang mengalami krisis identitas
nasional yang sangat membahayakan bagi nilai – nilai dasar Identitas bangsa
Indonesia itu sendiri. Letak Negara Indonesia yang sangat setrategis merupakan
hal yang sangat mempengaruhi terjaga atau tidak kelangsungan Identitas bangsa
Indonesia. Globalisasi yang terus berkembang pesat membuat nilai– nilai budaya
bangsa Indonesia mulai terkikis oleh budaya – budaya barat yang kurang sesuai
dengan budaya asli bangsa Indonesia seperti halnya budaya berpakaian. Kebaya
dan batik yang merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia yang berupa
pakaian, kini mulai hilang dari kehidupan bangsa Indonesia karena tergantikan
oleh pakaian yang bersifat kebarat - baratan. Tidak hanya itu saja, masyarakat
Indonesia yang dulunya terkenal sebagai orang – orang yang ramah, kini mulai
terpengaruh terhadap era globalisai yang memiliki sifat “persaingan” yang
sangat tinggi yang menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakt semakin
meningkat.
J.
Keterkaitan Integrasi
Nasional Indonesia dan Identitas Nasional
Masalah
integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional. Untuk mewujudkannya, diperlukan keadilan
dalam kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras,
suku, agama, bahasa, dan sebagainya. Sebenarnya, upaya mcmbangun keadilan,
kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan
membina stabilitas politik. Di samping itu, upaya lainnya dapat dilakukan,
seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam mcncntukan komposisi dan
rnckanisme parlemen. Dengan demikian, upaya integrasi nasional dengan strategi
yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang
diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu karena
pada hakikatnya integrasi nasional menunjukkan kckuatan persatuan dan kesaluan
bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya, persatuan dan kesatuan bangsa inilah
yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur, aman. dan tentram.
Konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, dan Papua merupakan
cermin belum terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan. Adapun keterkaitan
integrasi nasional dengan Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi
nasional dapat menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang dibangun.
K.
Pancasila Sebagai
Pemberdayaan Identitas Nasional
Suatu bangsa harus memiliki identitas
nasional dalam pergaulan internasional. Tanpa national identity, maka bangsa
tersebut akan terombang-ambing mengikuti ke mana angin membawa. Dalam ulang
tahunnya yang ke-62, bangsa Indonesia dihadapkan pada pentingnya menghidupkan
kembali identitas nasional secara nyata dan operatif.Identitas nasional kita
terdiri dari empat elemen yang biasa disebut sebagai konsensus nasional.
Konsensus dimaksud adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Revitalisasi Pancasila harus
dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.
Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau
nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan
sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela
Pancasila Sampai Mati” atau “Dengan
Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrument tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrument tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.
Karena itu, Pancasila harus dilihat
sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara otomatis akan tertanam
pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita- cita, seperti kehidupan
rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan bertahap. Dengan
demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan guna mencapai
cita-cita itu.
Selain perlunya penegasan bahwa
Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain
yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah
mencari maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras
Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi
strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir
Soekarno, jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
Soekarno, jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
Mencari
maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras
Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi
strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno,
jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah
maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna
penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
L.
Mengapa Pancasila
Disebut Sebagai Identitas Nasional
Pancasila
disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila mampu memberikan satu
pertanda atau ciri khas yang melekat dalam tubuh masyarakat. Hal ini yang
mendorong bagaimana statement masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila tersebut. Sebagai contoh nilai keadilan yang bermakna sangat
luas dan tidak memihak terhadap satu golongan ataupun individu tertentu. Unsur
pembentukan Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Sejarah Indonesia
membuktikan bahwa nilai luhur bangsa yang tercipta merupakan sebuah kekayaan
yang dimiliki dan tidak bisa tertandingi. Di Indonesia tidak pernah
putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, hal tersebut terbukti dengan adanya
tempat peribadatan yang dianggap suci, kitap suci dari berbagai ajaran
agamanya, upacara keagamaan, pendidikan keagamaan, dan lain-lain merupakan
salah satu wujud nilai luhur dari Pancasila khususnya sila ke-1.
Bangsa Indonesia
yang dikenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut terhadap sesama mampu
memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan Pancasila, hal ini terbukti dengan
adanya pondok-pondok atau padepokan yang dibangun mencerminkan kebersamaan dan
sifat manusia yang beradab. Pandangan hidup masyarakat yang terdiri dari
kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang
menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai
kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi
antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dalam praktik
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded,
dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di
dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system).
Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan
kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu
yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang
bersangkutan. Masyarakat Indonesia sekarang ini tidak hanya mendambakan adanya
penegakan peraturan hukum, akan tetapi masalah yang muncuk ke permukaan adalah
apakah masih ada keadilan dalam penegakan hukum tersebut. Hukum berdiri diatas
ideologi Pancasila yang berperan sebagai pengatur dan fondasi norma masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
M.
Beda Identitas Nasional
Bangsa Indonesia dengan Bangsa Lain
Identitas
Nasional adalah jati diri
yang dimiliki oleh suatu bangsa. Identitas bangsa indonesia akan berbeda dengan
identitas bangsa Australia, bangsa Amerika dan bangsa lainnya. Identitas
nasional itu terbentuk karena bangsa indonesia mempunyai pengalaman bersama,
sejarah yang yang sama, dan penderitaan yang sama dan juga terbentuk melalui
adanyta saling kerjasama antara kelompok yang satu denga kelompok yang lain.
Meskipun memiliki banyak perbedaan, namun keingina kuat diantara mereka untuk
saling merekatkan kelompoknya dengan kelompok lain dapat juga membentuk
identitas.
Secara umum terdapat beberapa
dimensi yang menjelaskan khas suatu bangsa, antara lain:
- Pola Perilaku, adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari,misalnya: adat istiadat, budaya, kebiasaan.
- Lambang-lambang, adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi Negara,misalnya: lagu kebangsaan, bendera, bahasa.
- Alat-alat Pelengkapan, adalah sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yangdigunakan untuk bangunan atau peralatan dan teknologi, misalnya: bangunan masjid, bangunan candi,pakaian adat.
- Tujuan yang ingin dicapai, indentitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dantidak tetap, mislnya: budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu.
SEJARAH
KELAHIRAN FAHAM NASIONALISME INDONESIA
Berawal
dari berbagai pergerakan yang berwawasan parokhial:
1. Boedi Oetomo (1908)
berbasis subkultural Jawa.
2. Sarekat Dagang Islam
(1911) berbasis kaum entrepeneur Islam
yang bersifat ekstrovert dan politis.
3. Muhammadiyah (1912)
berbasis subkultural Islam yang bersifat introvert dan sosial.
Pendiri Muhammadiyah
K.H.A.Dahlan
4. Indische Party (1912)
berbasis subkultural campuran Indo Belanda, Indo Chinese, Indo Arab, dan
Indonesia Asli yang mencerminkan elemen politis nasionalisme non rasial yang berselogan:
“ Tempat yang memberi nafkah
yang menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya”.
5. Indische Social
Democratische Vereninging (1913) yang berwawasan nasionalisme politik radikal
dan berorientasi marxis.
6. Trikora Dharmo (1915)
sebagai embrio Jong Java (1918), dan Indonesia Muda (1931) yang berbasis
subkultur jawa.
7. Nahdhatoel Oelama (1926)
dari subkultur santri dan ulama’, yang memulai segala aktifitasnya dari
pesantren dan bercorak Islam
tradisional.
8. Jong Ambon, Jong
Sumatera, Jong Celebes yang berbasis subkultural etnis.
Yang melahirkan pergerakan
inklusif yaitu pergerakan nasional yang berjati diri Indonesia, dengan
mengaktualisasikanm tekad politiknya dalam “Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928.
Mahasiswa Indonesia yang
belajar di Negara Belanda juga mendeklarasikan “Menifesto Politik” pada tahun
1925.
Dari
keanekaragaman subkultural tersebut terkristalisasi suatu “Core Cultural” yang
kemudian menjadi basis eksistensi “nastion-state’ Indonesia, yaitu
Nasionalisme.
Apapun
subkulturalnya, mereka merasa bernusa satu, berbangsa satu, dan bernegara satu
= Indonesia
Epistemologi
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial
yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam
seratus tahun terakhir. Tak
ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini.
Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya
Perang Dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme
(internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan
adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat
akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme.
Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai
interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di
kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat (khususnya pascatragedi WTC),
Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti India,
China, Brasil, dan Indonesia.
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul
dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi
semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang
berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama masa kekaisaran Romawi, kata
natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus
tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama
kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk
mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).
Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif
dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen
Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai
transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya
diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih
hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata
nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia
yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep
yang merepresentasikan sebuah politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari
transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang
nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus
memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah
artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa
sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya
rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme hanya
akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasionalisme,
baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun
nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang
tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap
epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal.
Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak
berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan
jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai
dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus
mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa
pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya
memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang dikatakan
Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan nasionalisme.
Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya
mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya,
teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang
diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma
pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya
pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di
sekelilingnya.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari
asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep
kekerabatan biologis. Dalam
sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar
pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie
(Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural
meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith,
ethnie merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang
memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang.
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana
tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan
budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya
jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat
kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk
mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti
Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya
ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti
Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa.
Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu
yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun,
itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi
nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi
nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena
nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah
munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan
bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas
aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal
nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu
revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep
nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan
modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat
(by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial
masyarakat Eropa pada saat itu.
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme
adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan
yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah
ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui
janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang
terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala
besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama
(Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian
industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari
sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa
nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.
SEBAGAI sebuah produk modernitas, perkembangan
nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan
transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai
sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih
penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi.
Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas
hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di
lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan
masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi
tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level
inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa
lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.
Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict
Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang
dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu
bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota
dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang
senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi
identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena
meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun
batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya
melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari
kelompok dominan.
Keunikan konsep
Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di
negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian
besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di
Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi
subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap
cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat
Simon Philpott, 2000).
Dalam bukunya,
Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat
pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah
disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di
masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa
Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan
proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda
dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).
Secara esensial
nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk berdasarkan suatu differance
sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976)
membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Kategorisasi
ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, walaupun Plamenatz cukup layak
didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat
yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, mereka beruntung karena budaya
mereka memungkinkan mereka menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi
standar-standar modernitas. Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam
masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara
budaya mereka tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang
memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat
pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat.
Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat.
Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema
nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia
spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial.
Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta
sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau
tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi
lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari
identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat
dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya
spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial
mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa
dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami transformasi karena
lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi
tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas
terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk
sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang
mendorong masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya "modern"
mereka yang berbeda dari Barat.
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material
seperti yang dijelaskan Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian
tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa
penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons
mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu,
masyarakat pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun
sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki
jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh
semangat spiritualitas Timur. Implikasi strategi ini dalam bangunan
nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis
membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang
tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban
Barat.
ORIENTASI spiritualitas Timur mengilhami lahirnya
konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan
hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya
masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi
Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan
mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati
secara kritis, ada beberapa poin yang problematis dengan klaim Soekarno di
atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003).
Mitos ini menjadi strategi retorika untuk membakar sentimen anti-Belanda saat
itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah Pancasila merupakan konsep yang
benar-benar produk indigenous? Dalam pidato Soekarno terlihat bahwa Pancasila
merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni
humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang
berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat
itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum
nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.
Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan
bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam
masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin
ditunjukkan dari pengamatan ini adalah bahwa penjelasan Chatterjee tentang
spiritualitas Timur yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pascakolonial
menjadi problematis ketika dipakai untuk mencari akar spiritualitas itu di
dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Problematis karena ketika
kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk
"alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi
konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar
pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep
gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi
jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme
(John Bowen, 1986). Indikasi lain dapat ditemui pada salah satu elemen
pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim
sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim demikian menjadi goyah setelah kita
membaca John Pemberton (1994) yang menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa
itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi
dengan budaya Eropa selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita
bisa mengkritik apa yang dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai
pengamatan yang mengandung bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki
bukti yang "autentik" untuk mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia
dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme
Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih
kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme
Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur
sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun
autentitasnya. Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun
diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis
dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara
"alami" pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup
kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat
diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi
nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya
diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi
utama.
Kesimpulan demikian tentu saja memiliki implikasi
politik. Namun, ini tak berarti membatalkan bangunan nasionalisme yang telah
dibangun oleh para elite nasionalis selama beberapa dekade terakhir. Hanya saja
patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan nasionalisme Indonesia telah
mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran
sejarah yang terus mengalir secara dinamis.
Di sinilah titik kritis karena nasionalisme,
sebagai sebuah ideologi, memiliki kapasitas mentransformasikan energi sosial ke
dalam aksi-aksi politik otoriterianisme. Dalam konteks ini, kacamata Anderson
yang melihat nasionalisme sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak
lagi memadai untuk mengamati bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam
relasi kekuasaan. Dalam perspektif ini, nasionalisme berada dalam sebuah relasi
antara negara dan masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam
mengendalikan negara (John Breuilly, 1994). Dalam kondisi demikian,
nasionalisme tidak lagi menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum
elite nasionalis yang dengan otoritas pengetahuan mendominasi wacana
nasionalisme. Dengan kata lain, nasionalisme berevolusi menjadi alat
manufacturing consent untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan ekonomi
politik kelompok elite nasionalis.
Untuk menghindari
jebakan ideologis ini, wacana nasionalisme harus dilepaskan dari dominasi
institusi negara, baik sipil maupun militer, dalam mendefinisikan nasionalisme.
Wacana nasionalisme harus diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok
masyarakat dapat dengan leluasa mengaji secara kritis dan memberi kontribusi
kreatif terhadap wacana nasionalisme. Dengan demikian, nasionalisme menjadi
arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.
Definisi
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan
dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa
"kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori
romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang
menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau
gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat
saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup
bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu,
naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk
mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah
cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan
inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan
suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu
terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk
kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme
secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme
yang ekstrem seperti nasional
sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
[sunting] Beberapa bentuk nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai
sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan
pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan
kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen
tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh
Jean-Jacques
Rousseau dan
menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk
Du Contract
Sociale
(atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak
Sosial").
Nasionalisme
etnis adalah
sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya
asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
Nasionalisme
romantik (juga
disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah
lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik
secara semulajadi
("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah
bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik;
kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya
"Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi
kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme
Budaya adalah
sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya
bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras
telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya
Tionghoa. Malah
banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok
sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis.
Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi
hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip
masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah
suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan
tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta
nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta
sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat
negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara
ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan
nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud
tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah,
seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi,
pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis
dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.
Nasionalisme
agama ialah sejenis
nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan
nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat
nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik;
nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok
nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok
tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh
mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan
nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi
semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan
Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap
dikaitkan dengan kebebasan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam kesempatan kali ini penyusun ingin
menegaskan bahwa diera Globalisasi seperti sekarang ini Identitas Nasional
merupakan hal yang harus diperhatikan, karena Identitas Nasional merupaka hal
yang membuat bertahan atau tidaknya ciri khas dan karakteristik suatu bangsa
yang seharusnya menjadi kebanggan bangsa itu sendiri karena, Identita Nasional
merupakan salah satu senjata untuk bersaing kearah yang lebih positif diera
Globalisasi ini.
B. DAFTAR
PUSTAKA
Asriatisetya. 2012. Identitas Nasional . Online http://asriatisetya.wordpress.com/2012/11/13/identitas-nasional/
diakses tanggal 10-10- 2013 dari situs
Didik
Baehaqi Arif. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jogjakarta : FKIP Universitas
Ahmad Dahlan, Online http : swarajalanan.blogspot.com/2011/10/pengaruh-globalisasi-terhadap-identitas. diakses tanggal 8 oktober 2013
Kaelan,2004,
Paradigma Pendidikan Pancasila. Online http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=45,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
Kusumohamidjojo,
B. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
Rahma,
Srijanti A dan Purwanto S. K. 2008. Etika
Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Salemba Empat.
S,
Ubed Abdilah. 2002. Politik Identitas
Etnis. Magelang: Indonesiatera.
Syarbani
Syahrial, Wahid Aliaras. 2006; Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan
Kewarganegaraan, UIEU – University Press
2009;
Kompetensi Demokrasi yang Beradab melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Graha
Ilmu, Yogyakarta. Online http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/30/
memerangi-pengikisan-identitas-nasional/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar