GAMBARAN KADAR HbA1c PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II (STUDI PUSTAKA)

 

GAMBARAN KADAR HbA1c PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE II

(STUDI PUSTAKA)

 

 



BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

       Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Berdasarkan beberapa definisi, penulis menyimpulkan bahwa penyakit diabetes adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan pada pankreas yang tidak dapat menghasilkan insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh atau tidak kemampuan dalam memecah insulin. Penyakit diabetes melitus juga menjadi faktor komplikasi dari beberapa penyakit lain (Ali, 2016).

       Gejala klinis diabetes melitus bersifat progresif, keluhan awal dapat berupa peningkatan rasa haus (polidipsia) dan lapar (polifagia) yang disertai pertambahan volume/frekuensi ber kemih (polyuria). Polifagia atau rasa lapar yang berlebihan terjadi karena tubuh tidak mampu lagi memindahkan energi ke dalam sel, menyebabkan sel menjadi kelaparan karena tidak mampu untuk menghasilkan energi sendiri. Ketiadaan energi menyebabkan penderita diabetes kelelahan dan kelemahan. Keluhan lain yang dirasakan berupa gatal (pruritus), terutama di daerah genital, serta penurunan berat badan (Arisman, 2014).

       Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit diabetes yang disebabkan karena sel-sel tubuh tidak menggunakan insulin sebagai energi atau sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang di lepaskan pankreas, inilah yang disebut resistensi insulin (Sutato, 2013). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes melitus adalah pengukuran HbA1c  (Ramadhan, 2015). Diabetes melitus tipe II merupakan 90% dari seluruh diabetes dan 10% merupakan diabetes melitus tipe I dan gestasional.

       Data World Health Organization (WHO), pada tahun 2012. Diabetes merupakan penyebab kematian ke-8 pada kedua jenis kelamin. Pada tahun 2015 di dunia terdapat 415 juta orang dewasa dengan diabetes, kenaikan 4 kali dari 108 juta pada tahun 1980, pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Hampir 80% orang diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2015, persentase orang  dewasa dengan diabetes adalah 8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang diabetes). Di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2014, terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes 11 negara anggota di wilayah regional Asia Tenggara. Setengahnya tidak terdiagnosis dengan diabetes. Prevalensi diabetes diantara orang dewasa di wilayah regional Asia Tenggara meningkat dari 4,1%  pada tahun 1980 menjadi 8.6% pada tahun 2014. Pada tahun 2015 di Indonesia menempati peringkat ke tujuh di dunia untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan Meksiko dengan jumlah estimasi penderita diabetes sebesar 10 juta. Persentase kematian akibat diabetes di Indonesia merupakan yang teringgi kedua setelah Srilanka. Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013). 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes (IDF Atlas, 2015).

       Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia memperlihatkan peningkatan angka prevalensi diabetes yang cukup signifikan, yaitu dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018)

       Berdasarkan pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI, sepuluh besar penyakit di Provinsi Lampung salah satunya adalah diabetes melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus di Provinsi Lampung sebesar 0,4%, penderita diabetes melitus tertinggi berada di kota Bandar Lampung sebesar 0,9% dan terendah berada di Lampung Utara sebesar 0,1%. (Riskesdas, 2018)

      HbA1c merupakan komponen kecil hemoglobin yang terikat dengan glukosa atau gula dalam darah. HbA1c juga kadang-kadang disebut sebagai hemoglobin terglikasi atau hemoglobin glikosilasi. Pemeriksaan  HbA1c sangat bermanfaat dan akurat, terutama selama pemantauan terapi. Laju pembentukannya sebanding dengan kadar glukosa. Reaksi ini akan bertambah intens jika kadar glukosa dalam darah terus meningkat. HbA1c mencerminkan rataan kadar glukosa selama 120 hari seusia eritrosit. Nilai HbA1c 5% mencerminkan kadar glukosa darah sebesar 90 mg/dL. Sekalipun gula darah pasien terkendali, kadar HbA1c setidaknya diperiksa sekali setiap 3 atau 4 bulan. Jika gula darah diabetes tak terkendali, pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering (Arisman, 2014).       

       Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan penelitian studi pustaka mengenai gambaran kadar HbA1c  pada penderita diabetes melitus tipe II sebagai sumber pengetahuan yang lebih detail bagi masyrakat luas. Berdasarkan data-data yang telah dijabarkan, maka penulis melakukan penelitian dengan judul gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

B.     Tujuan Penelitian

1.      Mengetahui distribusi frekuensi penderita diabetes melitus tipe II berdasarkan jenis kelamin secara studi pustaka.

2.      Mengetahui distribusi frekuensi kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II  secara studi pustaka.

C.     Ruang Lingkup Penelitian

       Bidang kajian dalam penelitian ini adalah kimia klinik dengan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Penelitian bersifat deskriptif dengan cara kualitatif, yaitu menggambarkan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II distribusi demografi yaitu jenis kelamin penderita diabetes melitus tipe II. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2020. Variabel yang diamati adalah kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II dengan mengambil data dari studi jurnal ilmiah

 


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Teori

1.      Diabetes Melitus

       Diabetes melitus sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Kurang lebih 1500 SM oleh Papyrus Ebers di Mesir, digambarkan  adanya penyakit dengan tanda-tanda  banyak kencing, 200 tahun kemudian Arateus menyebut diabetes dari kata dibre yang berarti siphon (tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ke tempt lain). Tahun 1674, Willis mengatakan urin tersebut digelimangi madu dan gula, sejak itu penyakit tersebut ditambah dengan kata melitus yang berarti madu. Secara umum diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin (Fransisca, 2012).

       Diabetes melitus yang dikenal dengan nama kencing manis merupakan diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam tubuh. Penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia, suatu kondisi yang berhubungan erat dengan kerusakan  jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah  (Arisman, 2014).

       Diabetes melitus ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa yang beredar pada darah, terkait dengan kelainan pada karbohidrat, lemak dan metabolisme pada komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Diabetes diakibatkan tidak ada pasukan insulin yang memadai atau respon jaringan yang tidak memadai untuk melakukankegiatan metabolisme (Inzucchi, 2005).

       Secara umum diabetes melitus merupakan beban kesehatan masyarakat yang cukup berat mengingat bahwa :

a.       Diabetes tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dikendalikan atau dicegah (diperlambat). Upaya pengendalian diabetes akan merupakan bagian keseharian seumur hidup seorang penderita.

 

b.      Rentan terhadap komplikasi. Keadaan lanjut ini bisa terjadi karena pasien merasa tidak sakit, sehingga tidak peduli atau melalaikan pengobatan dan perawatan. Selain itu, tentu terlambat mengunjungi dokter untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan

c.       Komplikasi diabetes melitus berat dan bersifat terminal (diakhiri dengan kematian)

d.      Bersifat autoimun yang menurun (diabetes melitus tipe I)

e.       Manifestasi diabetes melitus pada kelompok-kelompok tertentu cukup lebih berat (misalnya pada ibu hamil atau berat badan rendah/ underweight) (Bustan, 2015)

       Kelompok risiko tinggi (high risk) diabetes melitus, meliputi: a. Usia  >  45 tahun, b. Berat badan  lebih (BBR  > 110% atau IMT  > 25 kg/m), c. Hipertensi (> 140/90 mmHg), d. Ibu dengan riwayat melahirkan bayi > 4000 gram, e. Pernah diabetes sewaktu hamil, f. Riwayat keturunan diabetes melitus, g. Kolesterol HDL < 35 mg/dL atau trigliserida > 250 mg/dL, h. Kurang aktivitas fisik (Bustan, 2015).

a.      Klasifikasi Diabetes Melitus

       Ada beberapa klasifikasi diabetes melitus yang dipakai sekarang ini, misalnya menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, World Health Organization (WHO) dan PERKENI (Perkumpulan Endokrinolgi Indonesia) 2013. Berdasarkan Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) yang sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) klasifikasi diabetes melitus yaitu diabetes tipe I, diabetes tipe II, diabetes dalam kehamilan dan diabetes tipe lain.

1)      Diabetes melitus tipe I dikenal juga sebagai diabetes anak-anak dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau pankreas sehingga terjadi kekurang insulin pada tubuh (Maulana, 2012).

2)      Diabetes melitus tipe II disebut juga sebagai noninsulin-dependent diabetes, diabetes yang tidak bergantung pada insulin. Diabetes ini diseba bkan karena organ pankreas penderita mampu memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup namun sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang ada dengan benar (Sutanto, 2013).

3)      Diabetes gestasional adalah diabetes yang disebabkan karena kondisi kehamilan. Pada diabetes ini, pankreas penderita tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang aman bagi ibu dan janin (Sutanto, 2013).

4)      Diabetes melitus tipe lain, berupa efek genetik fungsi insulin, defek genetik kerja insulin, infeksi, karena obat/kimiawi.

b.      Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

       Secara umum, gejala diabetes yang paling sering terjadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1)      Gejala awal

a)      Banyak kencing (polyuria)

Oleh karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing

b)      Banyak minum (polydipsia)

Oleh karena sering kencing maka memungkinkan sering haus dan banyak minum.

c)      Banyak makan (polifagia)

Penderita diabetes melitus mengalami keseimbangan kalori, sehingga timbul rasa lapar yang sangat besar (Sutanto, 2013).

2)      Gejala tahap lanjut (akut)

       Gejala akut ini adalah tahap selanjutnya dari gejala awal yang tidak diatasi dengan baik. Berikut gejala-gejala akut diabetes, yaitu: a) Cepat mengalami kelelahan dan lemas tanpa penyebab yang jelas, b) Air kencing dikerumuni semut, c) Penurunan berat badan yang drastis tanpa penyebab yang jelas. Dalam hitungan 2 sampai 4 minggu saja, berat badan penderita bisa turun 5 sampai 10 kg, d) Kondisi-kondisi diatas, apabila tidak segera ditangani dengan baik berpotensi terhadap terjadinya koma diabetik (Sutanto, 2013).

3)      Gejala menahun (kronik)

       Seringkali seseorang yang mengidap diabetes tidak menunjukkan gejala akut diabetes. Gejala-gejala baru dirasakan setelah ia mengidap penyakit selama beberapa tahun. Inilah yang disebut dengan gejala menahun (kronik). Gejala kronik yang paling sering timbul adalah:

a)      Rasa kesemutan pada jari tangan dan kaki. Diabetes menyebabkan sirkulasi darah terhambat. Karena sirkulasi darah yang tidak lancar, maka bagian tubuh yang paling jauh dari jantung seperti pada jari tangan dan kaki mengalami kesemutan

b)      Terasa panas di kulit, juga terasa sakit seperti tertusuk-tusuk. Kulit juga terasa tebal

c)      Sering terjadi kram

d)     Gejala gangguan kulit, seperti badan terasa gatal-gatal berupa kulit merah dan menipis

e)      Sering merasa lelah dan mengantuk tanpa penyebab yang jelas

f)       Gangguan penglihatan (pandangan kabur)

g)      Menurunnya kemampuan seksual pada pria

h)      Gatal di daerah kelamin pada wanita

i)        Gangguan pada kesehatan mulut dan gigi. Seseorang yang terserang penyakit diabetes bisa dideteksi melalui kesehatan mulut dan giginya. Bentuknya berupa gusi merah, bengkak, dan sensitif. Hal ini kemudian menyebabkan gigi mudah goyang dan lepas

j)        Jika terjadi luka, sulit untuk sembuh

k)      Gejala sakit di beberapa bagian tubuh terutama di punggung bagian bawah dan anggota badan

l)        Jika dilakukan tes urin dan tes darah, keduanya menunjukan nilai kadar gula dalam darah yang tinggi (Sutanto, 2013).

       Apabila mengalami gejala-gejala tersebut, sebaiknya segerakan lakukan pemeriksaan gula darah. Untuk mendiagnosisnya, dapat dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu atau gula darah puasa. Jika hasil pemeriksaan gula darah sewaktu menunjukan kadar gula darah > 200 mg/dL maka diagnosis diabetes melitus dipastikan. Sedangkan, pada pemeriksaan gula darah puasa apabila dihasilkan kadar gula darah > 126 mg/dL maka diagnosis diabetes melitus dapat dipastikan (Medika, 2017).

 

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Gula Darah

                                                                         Kriteria Diagnostik Gula Darah

 

Bukan diabetes           

Pra Diabetes

Diabetes

Puasa

< 110

110-125

> 126

Sewaktu

< 110

110-199

> 200

Sumber : Fransisca, 2012.

c.       Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Diabetes Melitus

1)      Faktor Internal

a)      Usia

       Usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi.

b)      Genetik

       Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada diabetes melitus yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali  dan menyebar sel rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas.

c)      Kehamilan

       Pada kehamilan, toleransi glukosa biasanya kembali normal setelah melahirkan, tetapi wanita tersebut memiliki resiko untuk menderita DM di kemudian hari.

2)      Faktor Eksternal

a)      Obesitas

       Obesitas adalah berat badan yang berlebihan minimal 20% dari berat badan idaman atau indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.

b)      Aktifitas fisik

       Semakin jarang kita melakukan aktivitas fisik maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai, akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan semakin tinggi.

 

 

c)      Pola makan

       Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan fungsi sel beta individu yang rentan.

d)     Stres

       Stres menyebabkan kelebihan produksi kortisol, hormon yang menetralkan efek dari insulin dan hasil kadar gula darah tinggi. Kortisol bersifat antagonis. Jika seseorang lebih banyak stress, kprtisol akan mengurangi sensitivitas tubuh terhadap insulin dan membuat glukosa lebih sulit untuk masuk kedalam sel sehingga akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah.

d.      Komplikasi Diabetes Melitus

       Lama-lama peningkatan kadar gula darah dapat merusak karena darah, saraf dan struktur internal lainnya. Terbentuk zat komplek yang terdiri dari Gula di dalam dinding pembuluh darah.  Sehingga pembulu darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah berkurang, terutama yang menuju kulit dan saraf. Sirkulasi yang jelek  melalui pembuluh darah besar dan kecil bisa melukai jantung, otak, tungkai, mata, ginjal, saraf dan kulit dan memperlambat penyembuhan luka.

Tabel 2.2 Komplikasi Jangka panjang dari Diabetes  

Organ / jaringan yang terkena

Yang terjadi

Komplikasi

Pembuluh darah

Plak aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri berukuran besar atau sedang  di jantung, otak, tungkai & penis. Dinding pembulu darah kecil mengalami kerusakan sehingga pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal & mengalami kebocoran.

Sirkulasi yang jelek menyebabkan penyembuhan luka yang jelek & bisa menhebabkan penyakit jantung, stroke & infeksi.

Mata

Terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil retina.

Gangguan penglihatan & pada akhirnya bisa terjadi kebutaan

Ginjal

·         Penebalan pembuluh darah ginjal

·         Protein bocor ke dalam air kemih

·         Darah tidak disaring secara normal

Fungsi ginjal yang buruk akan menyebabkan Gagal ginjal

Saraf

Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara normal karena aliran darah berkurang

·         Kelemahan tungkai yang terjadi secara tiba-tiba

·         Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri ditangan & kaki

·         Kerusakan saraf menahun

Sistem saraf otonom

Kerusakan pada saraf yang mengendalikan tekanan darah & saluran pencernaan

·         Tekanan darah yang naik-turun

·         Kesulitan menelan & petrubahan funvgsi pencernaan disertai serangan diare

Kulit

Berkurangnya aliran darah ke kulit & hilangnya rasa yang menyebabkan cedera berulang

·           Luka, infeksi

·           Penyembuhan luka yang jelek

Darah

Gangguan fungsi sel darah pitih

 

Mudah terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih & kulit

Jaringan Ikat

Glukosa tidak dimetabolisasi secara normal sehingga jaringan menebal

Sindroma terowongan karpal Kontraktur Dupuytren

Sumber: Maulana, 2012.

e.       Pengendalian Diabetes Melitus

       Kunci utama pencegahan diabetes terletak pada tiga titik yang saling berkaitan, yaitu: 1) Pengendalian berat badan, 2) Aktif olahraga, dan 3) Makan

sehat (Bustan, 2015).

 

 

Tabel 2.3 Manajemen Pengendalian Diabetes Melitus

Status Diabetes

Tindakan Manajemen

1.       Publik Sehat

-         Edukasi, informasi, dan kepribadian

2.       Kelompok Risiko

-         Penyaringan

-         Perbaikan gaya hidup

3.       Prediabet / Sindrom metabolic

-         Diagnosa dini

-         Pemeriksaan laboratorium

4.       Penderita Diabetik

-         Intervensi diet dan olahraga

-         Pengobatan

-         Pencegahan kemungkinan komplikasi

-         Pemeriksaam khusus

5.       DM di Rumah Sakit

-         Pengobatan itensif

-         Perawatan khusus

-         Pencegahan komplikasi

6.       Kronik DM

-         Rehabilitasi komplikasi

-         Pemeriksaan periodik

Sumber : Bustan, 2007.                                                                          

2.      Diabetes Melitus tipe II

       Diabetes Melitus tipe II  merupakan  diabetes yang disebabkan oleh adanya resistensi insulin. Keadaan ini terjadi karena ketidak-rentanan/ketidakmampuan organ pankreas menggunakan insulin, sehingga insulin tidak berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) (Sutanto, 2013).

       Diabetes  melitus tipe II ditandai dengan 4 gangguan metabolisme utama, yaitu: a. Hiperglikemia kronik, b. Resistensi insulin, c. Reduksi respins insulin, d. Peningkatan pengeluaran glukosa hepar. Seorang yang baru saja terkena diabetes tipe II masih dapat terkendali dengan mengatur makan (diet) karena pada tahap awal, insulin yang dihasilkan masih cukup banyak untuk mencukupi kebutuhan (Bustan, 2015).

       Beberapa penyebab utama diabetes melitus tipe II sebagai berikut: a. Faktor keturunan, apabila orang tua atau adanya saudara sekandung yang mengalaminya, b. Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Banyaknya makanan cepat siap saji atau fast food yang menyajikan makanan berlemak dan tidak sehat, c. Kadar kolesterol yang tinggi, d. Jarang berolahraga, e. Obesitas atau kelebihan berat badan (Aprianti, 2012).

 

       Penyebab diabetes melitus tipe II umunya karena gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini membuat metabolisme insulin dalam tubuh tidak sempurna sehingga membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik (Apriyanti, 2012). Penyebab utama dari mekanisme terjadinya resistensi insulin adalah obesitas. Obesitas ditemukan kira-kira 90% dari pasien di dunia dan dikembangkan diagnosis dengan diabetes melitus tipe II (Susilo, 2011).

       Umumnya, diabetes melitus tipe II terjadi secara bertahap selama beberapa minggu atau bulan, dan tidak cukup jelas pada awalnya, sehingga banyak orang yang tidak menyadari dirinya telah mengalami penyakit diabetes (Sutanto, 2013).

3.      HbA1c

       Hemoglobin adalah suatu bahan di dalam darah yang membawa oksigen di dalam sel darah. Setelah terpapar terhadap sel darah merah maka glukosa lama-lama akan terikat pada hemoglobin sebagai hemoglobin terglikosilasi. Hemoglobin yang telah terglikosilasi dapat diukur dan dapat memberikan gambaran ranta-rata glukosa darah selama kurun waktu tertentu. Lama hidup sel darah merah (eritrosit) dalam peredaran darah adalah antara 90-120 hari. Inilah yang menjadi alasan mengapa pengukuran HbA1c dapat memberikan gambaran apa saja yang terjadi dengan glukosa dalam darah sepanjang 3 bulan terakhir (Soegondo, 1999).

       HbA1c adalah spesifik hemoglobin terglikasi sebagai hasil penambahan glukosa terhadap N-terminal valine pada rantai B-hemoglobin (B-N (1-deoxy) fructosyl-Hb). Konsentrasi HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan masa hidup eritrosit. HbA1c biasanya dilaporkan sebagai presentase dari total hemoglobin, nilai yang dilaporkan oleh National Glicohemoglobin Standardization Program (NGSP), akan tetapi IFFC (International Federation For Clinical Chemistry) melaporkan HbA1c sebagai mmol/l (Harefa, 2010). Glikasi hemoglobin tidak dikatalisis oleh enzim, tetapi melalui reaksi kimia akibat paparan glukosa yang beredar dalam darah terhadap sel darah merah. Laju sintesis HbA1c merupakan fungsi konsentrasi glukosa yang terikat pada eritrosit selama pemaparan. Konsentrasi HbA1c tergantung pada konsentasi glukosa darah dan usia eritrosit (Rahayu, 2014).

       HbA1c dibentuk melalui penambahan glukosa pada hemoglobin melalui proses non enzimatik, yang dinamakan glikasi. Membran eritrosit  permeabel terhadap glukosa yang masuk ke dalam sel dan merupakan tempat hemoglobin berikatan dengan glukosa. Produk yang tidak stabil (aldimin) diubah melalui proses amadori menjadi ketoamin yang stabil (glikohemoglobin) dan bersifat ireversibel, yang dapat bertahan sepanjang masa hidup eritrosit (umumnya 120 hari). Disebutkan bahwa rata-rata masa hidup eritrosit pada pria sekitar 117 hari dan pada wanita sekitar 106 hari. Interprestasi glikohemoglobin tergantung pada eritrosit yang memiliki masa hidup normal (Harefa, 2010).

a.      Kelebihan dan kekurangan Pemeriksaan HbA1c

       Berikut beberapa faktor yang menjadi alasan utama yang mendukung penggunaan HbA1c sebagai alat untuk skrining dan diagnosa diabetes, seperti:

1)      HbA1c dapat memperkirakan keadaan glukosa darah dalam jangka waktu yang lebih lama (menggambarkan rata-rata kadar glukosa darah selama 2-3 bulan)

2)      Tidak dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup jangka pendek

3)      HbA1c memberikan ukuran sangat baik untuk kontrol glikemik

4)      Metode pemeriksaan HbA1c telah terstandardisasi dengan baik dan keakuratannya dapat dipercaya

5)      Memiliki indeks paparan glukosa keseluruhan yang lebih baik dan dapat menilai komplikasi jangka panjang

6)      Relatif tidak terpengaruh oleh keadaan akut (misalnya stres atau penyakit yang terkait)

7)      Tidak membutuhkan persyaratan puasa

8)      Sifat HbA1c lebih stabil dalam suhu kamar sebanding glukosa plasma puasa

9)      Kesalahan yang disebabkan oleh faktor nonglikemik yang dapat mempengaruhi nilai HbA1c sampai jarang ditemukan dan dapat diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis dengan glukosa plasma

10)  Tidak atau kurang dipengaruhi oleh obat-obat yang mempengaruhi metabolisme glukosa.

       HbA1c sebagai alat untuk skrining atau diagnosis juga memiliki beberapa keterbatasan seperti berikut :

1)      Keadaan hemoglobin terkait seperti HbS, HbC, HbF dan HbE dapat mengganggu pemeriksaan HbA1c

2)      Saat interprestasi HbA1c bermasalah. Maka pemeriksaan glukosa puasa dan post prandial dianjurkan untuk tetap digunakan

3)      Nilai HbA1c menunjukan peningkatan seiring bertambahnya usia, akan tetapi besarnya perubahan dan pengaruh usia terhadap peningkatan HbA1c belum terlalu jelas untuk mengadopsi age-spesific values dalam diagnosis

4)      Harganya lebih mahal dibanding pemeriksaan glukosa

5)      Perbedaan etnis memiliki sensitivitas dan spesifisitas HbA1c yang berbeda, mungkin berkaitan dengan perbedaan genetik dalam konsentrasi hemoglobin (Hb), tingkat kecepatan glikasi dan masa hidup serta jumlah sel darah merah.

b.      Pemeriksaan HbA1c  

       Nilai HbA1c merupakan indikator penting untuk mengetahui apakah kadar gula darah tersebut terkontrol atau tidak terkontrol. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2019) pengendalian dibagi menjadi dua yaitu terkontrol (kadar HbA1c < 7%) dan tidak terkontrol (kadar HbA1c > 7% ). Pengendalian terkontrol yaitu gula darah yang terkendali, disebabkan karena kepatuhan dalam mengikuti pengendalian diabetes melitus sedangkan pengendalian tidak terkontrol yaitu gula darah yang tidak terkendali, disebabkan karena ketidak patuhan dalam memngikuti pengendalian diabetes melitus sehingga menyebabkan komplikasi.

c.       Metode Pemeriksaan HbA1c

       Seiring dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan HbA1c saat ini telah terstandarisasi dengan baik. Tiga pemeriksaan yang biasa digunakan oleh berbagai laboratorium:

 

 

 

 

 

Tabel 2.4 Pemeriksaan HbA1c .

Pemeriksaan

Prinsip

Kelemahan

Keuntungan

Kromatografi pertukaran ion (HPLC)

Hb terglikasi memiliki titik isoelektrik yang lebih rendah dan bermigrasi lebih cepat dibanding komponen Hb lainnya.

Adanya variabel interferensi dari hemoglobinopati, hbF, dan carbamylated Hb

Dapat kromatogram varian Hb

Affinitas boronat

Glukosa terikat dengan asam

m-maminophenylboronic

Bukan hanya mengukur glikasi valin N-terminal pada rantai B, tetapi juga glikasi rantai  B pada bagian lain dan glikasi rantai a

Interferensi minimal berasal dari hemoglobinopati, HbF, dan carbamylated  Hb

Immunoassay

Antibodi terikat pada glukosa dan antara asam amino 4 dan 10 N-terminal pada rantai B

Dipengaruhi oleh gangguan hemoglobinopati dengan asam amino lengkap pada sisi yang berikatan: beberapa gangguan berasal dari HbF

Tidak dipengaruhi oleh HbE, HbO, maupun carbamylated Hb

Sumber: Harefa, 2010

4.      Hubungan antara HbA1c dengan glukosa

      

 

 

 

     

Sumber: Rahayu, 2014

Gambar 2.1 Pembentukan HbA1c  

       HbA1c merupakan ikatan antara hemoglobin dengan glukosa, sedangkan fraksi-fraksi lain merupakan ikatan antaral N- hemoglobin dan heksosa lain. Struktrur molekuler HbA1c adalah N-(1-doxy)-fructosyl-hemoglobin atau N-(1-deoxyfructose-1-yl) hemoglobin beta chain. Glikasi hemoglobin tidak dikatalisis oleh enzim, tetapi melalui reaksi akibat paparan glukosa yang beredar dalam darah terhadap sel darah merah. Laju sintesis HbA1c merupakan fungsi consent rasi glukosa yang terikat pada eritrosit selama pemaparan. Konsentrasi HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan usia eritrosit (Rahayu, 2014).

       Hubungan antara HbA1c dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1c lebih tinggi didapatkan  pada individu yang memiliki kadar glukosa darah sejak lama, seperti pada diabetes melitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa HbA1c adalah indeks rata-rata kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya (Rahayu, 2014).

       Pemeriksaan HbA1c sangat bermanfaat dan akurat, terutama selama pemantauan terapi. Laju pembentukannya sebanding dengan kadar glukosa darah. Reaksi ini akan bertambah instens jika kadar glukosa dalam darah terus meningkat. HbA1c mencerminkan rataan kadar glukosa selama 120 hari (seusia eritrosit) dan HbA1c itu sendiri dijadikan sebagai parameter pengendalian diabetes melitus, di samping sebagai data pembenaran untuk menilai keberhasilan obat (Arisman, 2014).

       Hal diatas sesuai dengan penelitian Nur Ramadhan, Nelly Marissa tahun 2015 yang menyatakan bahwa Resiko perempuan terkena diabetes melitus tipe II lebih tinggi karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indek masa tubuh yang lebih besar Sindroma siklus bulanan. Pasca menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh mudah terakumulasi. Akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita diabetes melitus tipe II (Trisnawati, 2013) dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol lebih banyak dibandingkan dengan yang terkontrol karena ketidakpatuhan pasien dalam edukasi, terapi gizi medik, aktivitas fisik, pemberian obat-obatan, dan pemantauan glukosa darah sehingga komplikasi sedangkan ada beberapa yang terkontrol yaitu karena kepatuhan dalam mengikuti pengendalian diabetes melitus(Perkeni,2019).

B.     Variabel Penelitian

             Variabel dalam penelitian berjudul Gambaran kadar HbA1c pada       

       penderita diabetes melitus tipe II adalah kadar HbA1c dan diabetes melitus  

       tipe II


BAB III

METODE PENELITIAN

 

A.    Jenis Penelitian

       Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan cara menggambarkan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II yang umumnya tidak terjun langsung kelapangan dalam pencarian sumber datanya. Penelitian akan dilakukan dengan cara penulusuran pustaka. Variabel pada penelitian ini adalah kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

B.     Prosedur Penelitian

       Langkah-langkah dalam penelitian kepustakaan sebagai berikut :

1.        Pemilihan topik

       Topik yang dipilih dalam penelitian ini yaitu gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

2.        Eksplorasi informasi

       Eksplorasi informasi dilakukan dengan cara penelusuran pustaka dan penelusuran internet dari database Google Scholar atau sejenisnya yang memiliki keterkaitan dengan gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II lalu informasi yang didapatkan dikumpulkan untuk dipilah-pilah.

3.        Menentukan fokus penelitian

       Fokus penelitian ini yaitu jurnal yang berhubungan dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

4.        Pengumpulan sumber data

        Pengumpulan sumber data yaitu berasal dari database Google scholar dan ResearchGate tentang gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II

5.        Persiapan penyajian data

    Persiapan penyajian data dilakukan dengan menyiapkan instrumen-instrumen berupa penelusuran pustaka dari database Google Scholar yang mendukung untuk dikelola dan setelah itu data disajikan, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel.

6.      Penyusunan laporan  

Pada bagian akhir kegiatan penelitian, peneliti mulai dengan proses penyusunan laporan penelitian. Proses penyusunan laporan ini dilakukan dengan cara menyusun berbagai data yang didapat sesuai dengan gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II. Laporan yang dibuat peneliti dilakukan sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan oleh Poltekkes Tanjungkarang.

C.    Sumber Data

       Sumber data yang menjadi bahan penelitian berupa buku, artikel, jurnal dan penulusuran internet dari database Google Scholar yang memiliki keterkaitan dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II

D.    Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

       Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa buku, artikel, jurnal dan penulusuran internet dari database Google Scholar yang memiliki keterkaitan dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II. Kemudian data yang didapat disusun secara sistematis.

E.     Instrumen Penelitian

       Instrumen Penelitian ini adalah catatan penelitian, jurnal, artikel, buku yang digunakan sebagai bahan untuk pencarian data (artikel, jurnal dan penelusuran internet dari database Google Scholar).

F.     Teknik Analisis Data

       Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa metode analisis isi (Content Analysis). Analisis ini digunakan untuk mendapatkan referensi yang valid dan dapat diteliti ulang berdasarkan konteksnya. Dalam analisis data akan dilakukan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, dan memilah jurnal ilmiah yang digunakan dalam studi kepustakaan penelitian gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

 

 

 


                                                           BAB IV      

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

A.    Hasil

       Studi pustaka mengenai gambaran kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil jurnal penelitian mengenai kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

No

Nama penulis, Tahun dan Judul Jurnal

Tujuan

Hasil

1

Nur Ramadhan, Nelly Marissa(2015) Judul Artikel Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe II Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jaya Baru Kota Banda Aceh

Untuk menegetahui karakteristik penderita DM berdasarkan HbA1c di wilayah kerja Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh.

Hasil penelitian dari 85 penderita didapat:

a.       28 (33%) orang laki-laki dan 57 (67%)  orang perempuan kadar

b.       HbA1c yang terkontrol 13 (15,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 72 (84,7%)  orang.

2.

Bella Bonita, Herry Asnawi, dan Hendarmin Aulia (2016) Judul Artikel Hubungan Aktivitas Fisik, Kualitas Tidur, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar HbA1c Pada Pasien DM Tipe II yang Datang ke Poliklinik Endokrin Metabolik Diabetik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor resiko DM tipe 2 dengan kadar HbA1c sebagai indikator glikemik

Hasil penelitian dari 47 penderita didapat:

a.       21 (44,7%) orang laki-laki dan 26 (55,3%) orang perempuan

b.       Kadar HbA1c yang terkontrol 9 (19,1%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 38 (80,9%) orang.

3

Aroma Harum, TA Larasati, Reni Zuraida.

(November 2012 -  Januari 2013) Judul Artikel Hubungan Diet Serat Tinggi Dengan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Untuk Me lihat Hubungan Antara Diet Serat Tinggi Dengan Kadar HbA1c Pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Hasil penelitian dari 46 penderita didapat:

a.       19 (41,3%)  orang laki-laki dan 27 (58,7%) orang perempuan

b.        Kadar HbA1c yang terkontrol 13 (28,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 33 (71,7%) orang.                                  

4

Teddy, Eka Silvia

 (2015) Judul Artikel Hubungan Kadar Hemoglobin A1c (HbA1c)  Dengan Ulkus Kaki Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Periode September 2014-Maret 2015

Untuk mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin A1c (HbA1c) dengan ulkus kaki diabetik pada penderita DM tipe 2

Hasil penelitian dari 50 penderita didapat:

a.       22 (40%) orang laki-laki dan 28 (56%) orang perempuan

b.       Kadar HbA1c yang terkontrol 11 (22%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 39 (78%) orang.

5

TA Larasati (November-Desember 2013) Judul Artikel Aktivitas Fisik, Diet Serat, dan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Dr, H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dan diet tinggi serat dengan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 di RSAM Bandar Lampung.

Hasil penelitian dari 46 penderita didapat:

a.       19 (41%) orang laki-laki dan 27 (58,7%) orang perempuan

b.       kadar HbA1c yang terkontrol 13 (28,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 33 (71,7%)  orang. 

                                                                                                                               

B.     Pembahasan

       Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan akibat dari gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau pun keduanya.

       HbA1c merupakan hemoglobin yang berkaitan dengan glukosa, HbA1c kadang-kadang disebut sebagai glikosilasi dimana pemeriksaan ini jnuga berfungsi sebagai indikator pemantaun gula darah selama 3 bulan sebelunya (Arisman, 2014).

       Di dapatkan 2 jurnal yang penelitian berkaitan dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II. Penelitian oleh Nur Ramadhan (dkk) 2015 dan Bella Bonita (dkk) 2016 pada dua jurnal ini memiliki persamaan dalam standar kadar HbA1c yang masih terkendali yaitu < 6,5% (Perkeni, 2015) tetapi memiliki perbedaan dengan 3 jurnal yang lainnya oleh Aroma Harum (dkk) 2012, Teddy (dkk) 2015, TA Larasati (2013)  pada tiga jurnal ini memiliki persamaan dalam standar kadar HbA1c yang masih dalam terkendali yaitu < 7% (Perkeni, 2019). Standar kadar HbA1c tergantung dengan kebijakan dari Rumah sakit masing-masing.

       Dari kelima jurnal memiliki persamaan dalam hasil yang didapat bahwa perempuan 165 (60,2%) lebih banyak terkena diabetes melitus II dibandingkan laki-laki 109 (39,8%). Hal ini sesuai dengan Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang menunjukkan bahwa diabetes melitus lebih banyak dijumpai perempuan (1,8%) dibanding laki-laki (1.2%). Resiko perempuan terkena diabetes melitus tipe II lebih tinggi karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indek masa tubuh yang lebih besar Sindroma siklus bulanan. Pasca menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh mudah terakumulasi. Akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita diabetes melitus tipe II (Trisnawati, 2013). 

       Kelima jurnal diatas menjelaskan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 215 (78,5%) lebih banyak dibandingkan dengan yang terkontrol 59 (21,5%) karena ketidakpatuhan pasien dalam edukasi, terapi gizi medik, aktivitas fisik, pemberian obat-obatan, dan pemantauan glukosa darah sehingga komplikasi sedangkan ada beberapa yang terkontrol yaitu karena kepatuhan dalam mengikuti pengendalian diabetes melitus (Perkeni, 2019).    

       Dari penelitian oleh lestari dkk, tingginya kadar HbA1c menandakan peningkatan gula dalam darah, yang mana pada penderita diabetes melitus disebabkan oleh insulin yang tidak bekerja secara optimal dan pengontrolan kadar glukosa darah yang buruk. Insulin yang tidak bekerja secara optimal akan berdampak pada seluruh sel dalam tubuh termasuk sel saraf dan mengakibat neuropati saraf otonom. Neuropati saraf otonom dapat merusak bagian sistem saraf tak sadar yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, berkeringat dan pencernaan, ketika bagian saraf tersebut rusak oleh keadaan hiperglikemia maka organ tubuh yang dipersarafi akan mengalami gangguan Pada lambung dapat menyebabkan gastroparesis yang artinya kelumpuhan lambung. Kelumpuhan lambung dapat memperlambat pengosongan lambung yang mengarah kondisi dispepsia dengan adanya keluhan mual, muntah dan rasa penuh setelah makan.  

Kadar gula darah tinggi menyebabkan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Makrovaskuler terjadi penyumbatan pada pembuluh darah  besar seperti serangan jantung, stroke, dan gangguan aliran darah pada bagian tubuh seperti kaki yang bisa berujung pada pembusukan.  Mikrovaskuler terjadi penyumbatan pada pembuluh darah kecil seperti retinopati yang bisa berujung pada kebutaan, nefropati yang bisa berujung pada gagal ginjal dan neuropati yang bisa berakibat berbagai gangguan saraf .

Dari penilitian oleh Hurin dkk, bahwa olahraga atau latihan jasmani dapat menurunkan gula darah sedangkan kurangnya pembakaran energi oleh tubuh sehingga kelebihan enegi dalam tubuh disimpan dalam tubuh akan disimpan  dalam bentuk lemak dalam  tubuh,  kepatuhan minum obat memiliki 4 kali lebih baik untuk berhasil dalam pengelolaan  diabetes melitus tipe II dibandingkan dengan yang tidak patuh minum, dan diet sangat berp engaruh karena mempertahankan kadar gula darah agar mendekati nilai normal dapat dilakukan dengan asupan  makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan  karena diabetes melitus memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengatur metabolisme dalam  tubuh.

Upaya mengatasi keadaan gula darah yang tinggi dengan cara melakukan rutin pengontrolan gula darah dengan pemeriksaan HbA1c dan diikuti dengan pengendalian yang lain seperti Pengendalian berat badan, aktif olahraga, dan makan sehat (Bustan, 2015). Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan yang ideal dan aktif olahraga akan membantu pembakaran lemak dalam tubuh jika pengendalian ini dilakukan secara rutin akan membantu penurunan gula darah dalam tubuh (Perkeni, 2019).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

 

A.    Kesimpulan

1.      Penderita diabetes melitus tipe II dominan pada jenis kelamin perempuan 165 (60,2%) dan laki-laki 109 (39,8%).

2.      Kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II lebih banyak yang tidak terkontrol 215 (78,5%) yang terkontrol 59 (21,5%) karena ketidakpatuhan pasien dalam edukasi, terapi gizi medik, aktivitas fisik, pemberian obat-obatan, dan pemantauan glukosa darah.

B.     Saran

1.      Kadar HbA1c memiliki hubungan korelasi terhadap gula darah dalam tubuh selama 3 bulan sebelumnya, untuk mencapai gula darah yang stabil maka harus melakukan pengontrolan kadar HbA1c secara rutin pada Penderita diabetes melitus tipe II.

2.      Bagi penderita diabetes melitus tipe II agar mengikuti upaya pengendalian seperti pengendalian berat badan, olahraga, makanan sehat.

3.      Untuk penelitian selanjutnya dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa yang bisa menyebabkan kontrol buruk pada penderita diabetes melitus.

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Maghfuri, 2016. Buku Pinter Perawatan Luka. Jakarta Selatan; Salemba Medika.

Arisman Dr, MB, M.Kes, 2014. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Melitus & Displidemia, Jakarta; ECG.

Aroma Harum; Reni Zuraida; TA Larasti, 2012. Hubungan Diet Serat Tinggi  Dengan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2018,  Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2018.

 

Bella Bonita; Herry Asnawati; Hendarmin Aulia, 2016. Hubungan Aktivitas Fisik, Kualitas Tidur, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar HbA1c Pada Pasien DM Tipe 2 yang Datang ke Poliklinik Endokrin Metabolik Diabetik di RSUP   Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Penelitian.

Bustan, MN, 2007. Epidemologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Rineka Cipta.

Diana Puji, L; Willy Brodus, U: Muhammad Im,am, I, 2018. Hubungan Antara Kadar HbA1c dan Angka Kejadian Sindrom Dispepsia pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II, Jurnal Penelitian.

Fransisca, Kristiana, 2012. Awas Pankreas Rusak Penyebab Diabetes, Jakarta : Cerdas Sehat.

Harefa, E, 2010. Peran HbA1c dalam Skrining dan Diagnosis Diabetes Melitus. Informasi Laboratorium Klinik Prodia, Informasi Klinik Prodia.

Hurin Nuril Karimah; I Gusti Agung DS; Nur Habibah, 2018. Gambaran Kadar HbA1c Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Wangaya. Jurnal Penelitian

Inzucchi, 2014. The Diabetes Mellitus Manual, English : MeGraw – Hill Education.

IDF Atlas, 2015.  Diabetes Fakta dan Angka; World Health Organization.

Maya, Aprianti, 2012. Meracik Sendiri Obat & Menu Sehat bagi Penderita Diabetes Melitus, Jakarta: PB.

Mirza, Maulana, 2012. Mengenal Diabetes Melitus, Jogjakarta; Kata Hati

Nadjib Bustan, 2015. Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Jakarta : Rineka Cipta

Ramadhan, N; Nelly, M, 2015. Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh. Jurnal Penelitian.

PERKENI, 2015. Konsensus Pengelolaa & Pencegahan Diabetes Melitus tipe II Indonesia; Perkeni.

PERKENI, 2018. Pemantauan Flukosa Darah Manual 2019,  Indonesia; Perkeni.

PERKENI, 2019. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri 2019,  Indonesia; Perkeni.

TA Larasati, 2013. Aktivitas Fisik, Diet Serat, dan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Dr, H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian.

Teddy; Eka Silvia, 2015. Hubungan Kadar Hemoglobin A1c (HbA1c) Denga n Ulkus Kaki Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Periode September 2014-Maret 2015. Jurnal Penelitian.

Teguh, Sutanto, 2013. Diabetes Deteksi, Pencegahan, Pengobatan, Yogyakarta: Buku Pintar

Tim Bumi Medika, 2017. Berdamai dengan Diabetes,  Jakarta: Bumi Medika.

Rahayu, SP; Hursinem S, 2014. Peran Pemeriksaan Hemoglobin A1c pada Pengelolaan Diabetes Melitus. Jurnal Penelitian.

Shara Kurnia,T; Soedijono Setyorogo, 2012. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012             J urnal Penelitian.

Yekti, Susilo, 2011. Cara Jitu Mengatasi Kencing Manis, Yogyakarta; Andi.

 


GAMBARAN KADAR HbA1c PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II

(STUDI PUSTAKA)

 

Ayu Novia1, Sri Nuraini2, Sri Ujiani3,

1Program Studi  Teknologi Laboratorium Medis Program Diploma Tiga

Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Tanjungkarang

 

 

Abstrak                                                                

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kumpulan penyakit metabolik yang diakibatkan oleh adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya sehingga memiliki karakteristik hiperglikemia. Kejadian penyakit ini masih mengalami peningkatan di Indonesia khususnya DM tipe II. Pengukuran hemoglobin terglikasi (HbA1c) merupakan kontrol glikemik terbaik untuk mengetahui gambaran kadar glukosa darah selama dua hingga tiga bulan terakhir. Diabetes Melitus yang tidak terkontrol mengakibatkan berbagai komplikasi kronik baik itu komplikasi makrovaskuler maupun mikrovaskuler. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar HbA1c  pada penderita diabetes melitus tipe II kemudian berdasarkan jenis kelamin. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan analisis data yang digunakan adalah analisis isi. Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2020. Berdasarkan hasil penelitian dari kelima artikel didapatkan bahwa kadar HbA1c yang terkontrol lebih sedikit daripada kadar HbA1c yang tidak terkontrol dan berjenis kelamin perempuan lebih dominan terkena diabetes melitus daripada laki-laki.      

 

Kata Kunci      : HbA1c, Diabetes Melitus Tipe II

 

 

DESCRIPTION OF HbA1c LEVELS IN DIABETES MELITUS TYPE II PATIENTS

(LITERATURE REVIEW)

 

Abstract   

 

Diabetes mellitus (DM) is a collection of metabolic diseases caused by impaired insulin secretion, insulin action, or both so that it has the characteristics of hyperglycemia. The incidence of this disease is still increasing in Indonesia, especially DM type II. Measurement of glycated hemoglobin (HbA1c) is the best glycemic control to determine the picture of blood glucose levels during the last two to three months. Uncontrolled diabetes mellitus results in various chronic complications both macrovascular and microvascular complications. This research is a library research that aims to find out the description of HbA1c levels in patients with type II diabetes mellitus then by sex. This research is descriptive, with data analysis used is content analysis. The study was conducted in April-May 2020. Based on research results from the five articles, it was found that controlled HbA1c levels were less than uncontrolled HbA1c levels and female sex was more predominantly affected by diabetes mellitus than men.

 

Keywords: HbA1c, Type II Diabetes Mellitus

                                                                                               

 

 

 


Pendahuluan


       Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Berdasarkan beberapa definisi, penulis menyimpulkan bahwa penyakit diabetes adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan pada pankreas yang tidak dapat menghasilkan insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh atau tidak kemampuan dalam memecah insulin. Penyakit diabetes melitus juga menjadi faktor komplikasi dari beberapa penyakit lain (Ali, 2016).

       Gejala klinis diabetes melitus bersifat progresif, keluhan awal dapat berupa peningkatan rasa haus (polidipsia) dan lapar (polifagia) yang disertai pertambahan volume/frekuensi ber kemih (polyuria). Polifagia atau rasa lapar yang berlebihan terjadi karena tubuh tidak mampu lagi memindahkan energi ke dalam sel, menyebabkan sel menjadi kelaparan karena tidak mampu untuk menghasilkan energi sendiri. Ketiadaan energi menyebabkan penderita diabetes kelelahan dan kelemahan. Keluhan lain yang dirasakan berupa gatal (pruritus), terutama di daerah genital, serta penurunan berat badan (Arisman, 2014).

       Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit diabetes yang disebabkan karena sel-sel tubuh tidak menggunakan insulin sebagai energi atau sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang di lepaskan pankreas, inilah yang disebut resistensi insulin (Sutato, 2013). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes melitus adalah pengukuran HbA1c  (Ramadhan, 2015). Diabetes melitus tipe II merupakan 90% dari seluruh diabetes dan 10% merupakan diabetes melitus tipe I dan gestasional.

       Data World Health Organization (WHO), pada tahun 2012. Diabetes merupakan penyebab kematian ke-8 pada kedua jenis kelamin. Pada tahun 2015 di dunia terdapat 415 juta orang dewasa dengan diabetes, kenaikan 4 kali dari 108 juta pada tahun 1980, pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Hampir 80% orang diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2015, persentase orang  dewasa dengan diabetes adalah 8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang diabetes). Di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2014, terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes 11 negara anggota di wilayah regional Asia Tenggara. Setengahnya tidak terdiagnosis dengan diabetes. Prevalensi diabetes diantara orang dewasa di wilayah regional Asia Tenggara meningkat dari 4,1%  pada tahun 1980 menjadi 8.6% pada tahun 2014. Pada tahun 2015 di Indonesia menempati peringkat ke tujuh di dunia untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan Meksiko dengan jumlah estimasi penderita diabetes sebesar 10 juta. Persentase kematian akibat diabetes di Indonesia merupakan yang teringgi kedua setelah Srilanka. Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013). 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes (IDF Atlas, 2015).

       Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia memperlihatkan peningkatan angka prevalensi diabetes yang cukup signifikan, yaitu dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018)

       Berdasarkan pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI, sepuluh besar penyakit di Provinsi Lampung salah satunya adalah diabetes melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus di Provinsi Lampung sebesar 0,4%, penderita diabetes melitus tertinggi berada di kota Bandar Lampung sebesar 0,9% dan terendah berada di Lampung Utara sebesar 0,1%. (Riskesdas, 2018)

       HbA1c merupakan komponen kecil hemoglobin yang terikat dengan glukosa atau gula dalam darah. HbA1c juga kadang-kadang disebut sebagai hemoglobin terglikasi atau hemoglobin glikosilasi. Pemeriksaan  HbA1c sangat bermanfaat dan akurat, terutama selama pemantauan terapi. Laju pembentukannya sebanding dengan kadar glukosa. Reaksi ini akan bertambah intens jika kadar glukosa dalam darah terus meningkat. HbA1c mencerminkan rataan kadar glukosa selama 120 hari seusia eritrosit. Nilai HbA1c 5% mencerminkan kadar glukosa darah sebesar 90 mg/dL. Sekalipun gula darah pasien terkendali, kadar HbA1c setidaknya diperiksa sekali setiap 3 atau 4 bulan. Jika gula darah diabetes tak terkendali, pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering (Arisman, 2014).

 

Metode

       Jenis penelitian yang digunakan adalah studi pustaka (Library Research) yang didapat dengan menelaah artikel, jurnal ilmiah, dan buku yang berkaitan dengan penelitian tentang kadar hbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

       Adapun langkah-langkah dalam penelitian  kepustakaan ini meliputi:

Pemilihan topik, eksporasi informasi, menentukan fokus penelitian, pengumpulan sumber data, persiapan penyajian data, dan penyusunan laporan.

       Penelitian ini didasarkan pada kajian literatur baik secara online maupun offline. Media offline diperoleh dari berbagai text boox dan buku lainnya, sedangkan media online bersumber dari berbagai scientific journal yang ada pada Web dan Google Scholar. Kata Kunci yang digunakan dalam pencarian literature adalah kadar HbA1c, diabetes melitus tipe II.

       Teknik pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan adalah dengan cara dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, makalahm atau artikel, jurnal, dan sebagainya. Adapun literature yang digunakan dalam penelitian ini merupakan artikel atau jurnal yang dipublikasi secara nasional dan memiliki ISSN, atau internasional terakreditasi dan dipublikasi dalam waktu 10 tahun terakhir, serta sesuai deangan topik  penelitian ini.

 

Hasil

       Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan yang menggunakan 5 jurnal penelitian, hasil dari penelitian ini akan dituangkan dalam tabel 4.1

      


Tabel 4.1 Hasil jurnal penelitian mengenai kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II.

No

Nama penulis, Tahun dan Judul Jurnal

Tujuan

Hasil

1

Nur Ramadhan, Nelly Marissa(2015) Judul Artikel Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe II Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jaya Baru Kota Banda Aceh

Untuk menegetahui karakteristik penderita DM berdasarkan HbA1c di wilayah kerja Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh.

Hasil penelitian dari 85 penderita didapat:

c.       28 (33%) orang laki-laki dan 57 (67%)  orang perempuan kadar

d.      HbA1c yang terkontrol 13 (15,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 72 (84,7%)  orang.

2.

Bella Bonita, Herry Asnawi, dan Hendarmin Aulia (2016) Judul Artikel Hubungan Aktivitas Fisik, Kualitas Tidur, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar HbA1c Pada Pasien DM Tipe II yang Datang ke Poliklinik Endokrin Metabolik Diabetik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor resiko DM tipe 2 dengan kadar HbA1c sebagai indikator glikemik

Hasil penelitian dari 47 penderita didapat:

c.       21 (44,7%) orang laki-laki dan 26 (55,3%) orang perempuan

d.      Kadar HbA1c yang terkontrol 9 (19,1%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 38 (80,9%) orang.

3

Aroma Harum, TA Larasati, Reni Zuraida.

(November 2012 -  Januari 2013) Judul Artikel Hubungan Diet Serat Tinggi Dengan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Untuk Me lihat Hubungan Antara Diet Serat Tinggi Dengan Kadar HbA1c Pasien DM tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Hasil penelitian dari 46 penderita didapat:

c.       19 (41,3%)  orang laki-laki dan 27 (58,7%) orang perempuan

d.       Kadar HbA1c yang terkontrol 13 (28,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 33 (71,7%) orang.                                  

4

Teddy, Eka Silvia

 (2015) Judul Artikel Hubungan Kadar Hemoglobin A1c (HbA1c)  Dengan Ulkus Kaki Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Periode September 2014-Maret 2015

Untuk mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin A1c (HbA1c) dengan ulkus kaki diabetik pada penderita DM tipe 2

Hasil penelitian dari 50 penderita didapat:

c.       22 (40%) orang laki-laki dan 28 (56%) orang perempuan

d.      Kadar HbA1c yang terkontrol 11 (22%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 39 (78%) orang.

5

TA Larasati (November-Desember 2013) Judul Artikel Aktivitas Fisik, Diet Serat, dan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Dr, H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dan diet tinggi serat dengan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 di RSAM Bandar Lampung.

Hasil penelitian dari 46 penderita didapat:

c.       19 (41%) orang laki-laki dan 27 (58,7%) orang perempuan

d.      kadar HbA1c yang terkontrol 13 (28,3%) orang dan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 33 (71,7%)  orang. 

 


Pembahasan

 


       Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan akibat dari gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau pun keduanya.

       HbA1c merupakan hemoglobin yang berkaitan dengan glukosa, HbA1c kadang-kadang disebut sebagai glikosilasi dimana pemeriksaan ini jnuga berfungsi sebagai indikator pemantaun gula darah selama 3 bulan sebelunya (Arisman, 2014).

       Di dapatkan 2 jurnal yang penelitian berkaitan dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II. Penelitian oleh Nur Ramadhan (dkk) 2015 dan Bella Bonita (dkk) 2016 pada dua jurnal ini memiliki persamaan dalam standar kadar HbA1c yang masih terkendali yaitu < 6,5% (Perkeni, 2015) tetapi memiliki perbedaan dengan 3 jurnal yang lainnya oleh Aroma Harum (dkk) 2012, Teddy (dkk) 2015, TA Larasati (2013)  pada tiga jurnal ini memiliki persamaan dalam standar kadar HbA1c yang masih dalam terkendali yaitu < 7% (Perkeni, 2019). Standar kadar HbA1c tergantung dengan kebijakan dari Rumah sakit masing-masing.

       Dari kelima jurnal memiliki persamaan dalam hasil yang didapat bahwa perempuan 165 (60,2%) lebih banyak terkena diabetes melitus II dibandingkan laki-laki 109 (39,8%). Hal ini sesuai dengan Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang menunjukkan bahwa diabetes melitus lebih banyak dijumpai perempuan (1,8%) dibanding laki-laki (1.2%). Resiko perempuan terkena diabetes melitus tipe II lebih tinggi karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indek masa tubuh yang lebih besar Sindroma siklus bulanan. Pasca menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh mudah terakumulasi. Akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita diabetes melitus tipe II (Trisnawati, 2013). 

       Kelima jurnal diatas menjelaskan kadar HbA1c yang tidak terkontrol 215 (78,5%) lebih banyak dibandingkan dengan yang terkontrol 59 (21,5%) karena ketidakpatuhan pasien dalam edukasi, terapi gizi medik, aktivitas fisik, pemberian obat-obatan, dan pemantauan glukosa darah sehingga komplikasi sedangkan ada beberapa yang terkontrol yaitu karena kepatuhan dalam mengikuti pengendalian diabetes melitus (Perkeni, 2019).    

       Dari penelitian oleh lestari dkk, tingginya kadar HbA1c menandakan peningkatan gula dalam darah, yang mana pada penderita diabetes melitus disebabkan oleh insulin yang tidak bekerja secara optimal dan pengontrolan kadar glukosa darah yang buruk. Insulin yang tidak bekerja secara optimal akan berdampak pada seluruh sel dalam tubuh termasuk sel saraf dan mengakibat neuropati saraf otonom. Neuropati saraf otonom dapat merusak bagian sistem saraf tak sadar yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, berkeringat dan pencernaan, ketika bagian saraf tersebut rusak oleh keadaan hiperglikemia maka organ tubuh yang dipersarafi akan mengalami gangguan Pada lambung dapat menyebabkan gastroparesis yang artinya kelumpuhan lambung. Kelumpuhan lambung dapat memperlambat pengosongan lambung yang mengarah kondisi dispepsia dengan adanya keluhan mual, muntah dan rasa penuh setelah makan. 

       Kadar gula darah tinggi menyebabkan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Makrovaskuler terjadi penyumbatan pada pembuluh darah  besar seperti serangan jantung, stroke, dan gangguan aliran darah pada bagian tubuh seperti kaki yang bisa berujung pada pembusukan.  Mikrovaskuler terjadi penyumbatan pada pembuluh darah kecil seperti retinopati yang bisa berujung pada kebutaan, nefropati yang bisa berujung pada gagal ginjal dan neuropati yang bisa berakibat berbagai gangguan saraf .

       Dari penilitian oleh Hurin dkk, bahwa olahraga atau latihan jasmani dapat menurunkan gula darah sedangkan kurangnya pembakaran energi oleh tubuh sehingga kelebihan enegi dalam tubuh disimpan dalam tubuh akan disimpan  dalam bentuk lemak dalam  tubuh,  kepatuhan minum obat memiliki 4 kali lebih baik untuk berhasil dalam pengelolaan  diabetes melitus tipe II dibandingkan dengan yang tidak patuh minum, dan diet sangat berp engaruh karena mempertahankan kadar gula darah agar mendekati nilai normal dapat dilakukan dengan asupan  makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan  karena diabetes melitus memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengatur metabolisme dalam  tubuh.

       Upaya mengatasi keadaan gula darah yang tinggi dengan cara melakukan rutin pengontrolan gula darah dengan pemeriksaan HbA1c dan diikuti dengan pengendalian yang lain seperti Pengendalian berat badan, aktif olahraga, dan makan sehat (Bustan, 2015). Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan yang ideal dan aktif olahraga akan membantu pembakaran lemak dalam tubuh jika pengendalian ini dilakukan secara rutin akan membantu penurunan gula darah dalam tubuh (Perkeni, 2019).

 

Kesimpulan

       Berdasarkan hasil dan pembahasan studi pustaka yang telah dilakukan terhadap 5 jurnal penelitian dapat disimpulkan bahwa penderita diabetes melitus tipe II dominan pada jenis kelamin perempuan 165 (60,2%) dan laki-laki 109 (39,8%). Kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus tipe II lebih banyak yang tidak terkontrol 215 (78,5%) yang terkontrol 59 (21,5%) .

Saran

       Saran yang dapat dikemumukan pada penelitian ini adalah:

1.      Kadar HbA1c memiliki hubungan korelasi terhadap gula darah dalam tubuh selama 3 bulan sebelumnya, untuk mencapai gula darah yang stabil maka harus melakukan pengontrolan kadar HbA1c secara rutin pada Penderita diabetes melitus tipe II.

2.      Bagi penderita diabetes melitus tipe II agar mengikuti upaya pengendalian seperti pengendalian berat badan, olahraga, makanan sehat.

3.      Untuk penelitian selanjutnya dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa yang bisa menyebabkan kontrol buruk pada penderita diabetes melitus.

Daftar Pustaka

Ali, Maghfuri, 2016. Buku Pinter Perawatan Luka. Jakarta Selatan; Salemba Medika.

Arisman Dr, MB, M.Kes, 2014. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Melitus & Displidemia, Jakarta; ECG.

Aroma Harum; Reni Zuraida; TA Larasti, 2012. Hubungan Diet Serat Tinggi  Dengan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2018,  Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2018.

Bella Bonita; Herry Asnawati; Hendarmin Aulia, 2016. Hubungan Aktivitas Fisik, Kualitas Tidur, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar HbA1c Pada Pasien DM Tipe 2 yang Datang ke Poliklinik Endokrin Metabolik Diabetik di RSUP   Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Penelitian.

Bustan, MN, 2007. Epidemologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Rineka Cipta.

Diana Puji, L; Willy Brodus, U: Muhammad Im,am, I, 2018. Hubungan Antara Kadar HbA1c dan Angka Kejadian Sindrom Dispepsia pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II, Jurnal Penelitian.

Fransisca, Kristiana, 2012. Awas Pankreas Rusak Penyebab Diabetes, Jakarta : Cerdas Sehat.

Harefa, E, 2010. Peran HbA1c dalam Skrining dan Diagnosis Diabetes Melitus. Informasi Laboratorium Klinik Prodia, Informasi Klinik Prodia.

Hurin Nuril Karimah; I Gusti Agung DS; Nur Habibah, 2018. Gambaran Kadar HbA1c Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Wangaya. Jurnal Penelitian

Inzucchi, 2014. The Diabetes Mellitus Manual, English : MeGraw – Hill Education.

IDF Atlas, 2015.  Diabetes Fakta dan Angka; World Health Organization.

Maya, Aprianti, 2012. Meracik Sendiri Obat & Menu Sehat bagi Penderita Diabetes Melitus, Jakarta: PB.

Mirza, Maulana, 2012. Mengenal Diabetes Melitus, Jogjakarta; Kata Hati

Nadjib Bustan, 2015. Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Jakarta : Rineka Cipta

Ramadhan, N; Nelly, M, 2015. Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh. Jurnal Penelitian.

PERKENI, 2015. Konsensus Pengelolaa & Pencegahan Diabetes Melitus tipe II Indonesia; Perkeni.

PERKENI, 2018. Pemantauan Flukosa Darah Manual 2019,  Indonesia; Perkeni.

PERKENI, 2019. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri 2019,  Indonesia; Perkeni.

TA Larasati, 2013. Aktivitas Fisik, Diet Serat, dan Kadar HbA1c Pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Dr, H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian.

Teddy; Eka Silvia, 2015. Hubungan Kadar Hemoglobin A1c (HbA1c) Denga n Ulkus Kaki Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Periode September 2014-Maret 2015. Jurnal Penelitian.

Teguh, Sutanto, 2013. Diabetes Deteksi, Pencegahan, Pengobatan, Yogyakarta: Buku Pintar

Tim Bumi Medika, 2017. Berdamai dengan Diabetes,  Jakarta: Bumi Medika.

Rahayu, SP; Hursinem S, 2014. Peran Pemeriksaan Hemoglobin A1c pada Pengelolaan Diabetes Melitus. Jurnal Penelitian.

Shara Kurnia,T; Soedijono Setyorogo, 2012. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012             J urnal Penelitian.

Yekti, Susilo, 2011. Cara Jitu Mengatasi Kencing Manis, Yogyakarta; Andi.

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 1

CARA KERJA PEMERIKSAAN HbA1c

1.      Metode Pemeriksaan

HPLC (high performance liquid chromatography)

2.      Prinsip Kerja

Sampel secara otomatis mengalami dua tahap proses pengenceran  (1:300) dan kemudian dimasukan ke dalam analytical flow path. Pre-diluted sampel diidentifikasi berdasarkan penggunaan sampel vial adapter, dan secara otomatis tahap pengencerannya dihilangkan. Antara sampel injeksi, sampel probe mencuci dengan larutan wash/diluent untuk meminimalkan carryover sampel. D-10 diprogramkan untuk mengantarkan buffer gradient melalui pum HPLC dan valve yang proporsional. Buffer mengantarkan sampel ke analytical cartridge, yang mana hemoglobin di pisah berdasarkan interaksi ionic dengan material cartridge. Pemisahan hemoglobin melalui filter photometer flow cell yang diubah absorbansinya untuk mengukur pada panjang gelombang 415nm.

3.      Cara pemeriksaan

a.       Tekan switct ON/OFF yang ada pada alat dibagian sebelah kiri bawah

C.N: tunggu sampai muncul 5 Icon-Run, Data, Setting, Lot Info, dan Maintain.

b.      Klik Start Up

c.       Yaitu: alat sedang melakukan proses warmup selama 5 menit 30 detik.

d.      Persiapkan sampel yang ingin dirunning.

e.       Setelah proses ke-2 selesai maka akan keluar hasil print dan Pintu Rack disamping kanan akan terbuka.

f.       Masukkan sampel ke dalam Rack.

g.      Masukan Rack tersebut kedalam pintu Rack yang ada disamping kanan.

h.      C.N: Jangan didorong (akan merusak Rack drive/Rubber).

i.        Masukkan ID

Dengan cara mengklik Icon Edit, lalu beri nama yang diinginkan. Setelah selesai klik Icon Done atau ID akan terindetifikasi dengan sendirinya apabila setiap tabung diberi barcode.

j.        Teka Icon Start

Muncul tulisan: Are you sure kemudian you want to start the run? Klik YES.

k.      Setelah proses Start Up selesai maka alat akan melakukan proses running selama 3 menit per sampel

l.        Setelah proses running selesai klik Icon Eject.

m.    Pintu rack akan terbuka dan rack akan keluar.

n.      Keluarkan rack tersebut.

C.N: alat akan stand by setelah running selama waktu yang kita set.

o.      Dan seterusnya lakukan mulai dari langkah Nomor 3.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer