ANEMIA PADA PENDERITA HIV/AIDS (STUDI PUSTAKA)
ANEMIA PADA
PENDERITA HIV/AIDS
(STUDI PUSTAKA)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome) saat ini telah menjadi masalah kesehatan
darurat global. Di seluruh dunia 35 juta orang hidup dengan HIV dan 19 juta
orang tidak mengetahui status HIV positif mereka (InfoDatin HIV AIDS, 2018). Acquired Immune Deficiency Syndrome atau
yang disebut (AIDS) disebabkan oleh
virus yang disebut Human Immunodeficiency
Virus (Baratawidjaja,2014). AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh
adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem
kekebalannya dirusak oleh virus HIV (Kuswiyanto,2016).
Menurut WHO, HIV telah merenggut lebih dari 32 juta
jiwa, dan 770.000 orang meninggal karena HIV, tercatat kejadian antara tahun
2000 sampai 2018, infeksi HIV baru turun
dan tingkat kematian terkait HIV turun 45% dengan 13,6 juta jiwa berhasil
diselamatkan karna pemberian ARV (Terapi antiretroviral), pencapaian ini
adalah hasil dari upaya besar oleh program HIV nasional (WHO, 2018). Data
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan sebanyak 34 provinsi, dalam
laporan triwulan IV tercatat sampai dengan Desember tahun 2018 jumlah kasus HIV
yang dilaporkan sebanyak 46.659 orang,
sedangkan untuk kasus AIDS sendiri sampai Desember 2018 sebanyak 10.190 orang
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Jenis kelamin laki – laki
sebanyak 67,2 % atau sekitar 6.846 orang dan perempuan sebanyak 32,8 % atau
sekitar 3.340 orang, serta terdapat 4 orang yang tidak melaporkan jenis
kelaminnya atau hanya 0,0 % (Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi dan SIHA, 2018).
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk
dalam family lenti-virus.
Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya
dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama
periode inkubasi
yang panjang. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem
imun dan menghancurkannya, hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA
dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan
limfosit (Kuswiyanto, 2016).
Gangguan hematologik sering dijumpai
selama perjalanan penyakit infeksi HIV yang terjadi sebagai akibat langsung HIV
sebagai manifestasi indeks sekunder dan neoplasia dan berbagai efek samping
terapi. contohnya yang terjadi pada infeksi sekunder. Infeksi sekunder
merupakan komplikasi infeksi HIV yang timbul belakangan, biasanya terjadi pada
pasien dengan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 per microliter,
walaupun secara karakteristik disebabkan oleh organisme oportunistik. Infeksi
sekunder merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada pasien infeksi HIV, sekitar 80% persen pasien
AIDS meninggal sebagai akibat langsung selain infeksi HIV, dengan infeksi
akibat organisme oportunis merupakan penyebab utamanya (Harrison, 2000). Akibat
kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi
bakteri, jamur, parasite dan virus tertentu yang bersifat oportunistik (Kuswiyanto,2016).
Tanda utama penyakit HIV adalah imunodefisiensi
hebat terutama akibat defisiensi kuantitatif dan kualitatif progresif subset
CD4+ limfosit T yang disebut sebagai sel T penolong – penginduksi
helper (Harrison, 2000). Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase
yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah CD4+ dalam darah mulai
menurun di bawah 200/mm3 dan penderita akan menjadi rentan terhadap
infeksi dan disebut menderita AIDS (Baratawidjaja, 2012).
Semakin lanjut penyakit HIV, atau semakin rendah
jumlah CD4, maka akan ada kemungkinan kemunculan terjadinya anemia. Beberapa
faktor yang berhubungan dengan angka anemia semakin tinggi pada ODHA (Orang
dengan HIV /AIDS) salah satunya adalah jumlah CD4 yang lebih rendah (Yayasan
Spiritia, 2015), hal ini dibuktikan oleh penelitian Esfandiary F, 2014 terdapat
korelasi positif antara penurunan jumlah CD4+ dengan penurunan kadar
Hb, semakin rendah CD4+ maka terjadinya penurunan kadar Hb semakin
memiliki
hubungan positif dengan jumlah CD4 pada
pasien HIV/AIDS yang bermakna penurunan jumlah CD4 sejalan dengan penurunan
kadar Hb dalam darah. Begitu juga dengan penelitian Massang B dkk, 2018 adanya
hubungan yang positif antara penurunan kadar CD4 dengan penurunan kadar
hemoglobin pada pasien HIV baik yang sudah mendapatkan terapi ARV atau pun yang
belum mendapatkan nya sekalipun. Hb atau hemoglobin adalah protein dalam sel
darah merah yang mengantar oksigen dari paru- paru kebagian tubuh yang lain,
sebagian dokter sepakat bahwa tingkat hemoglobin yang di bawah 6,5 g/dl
menunjukan anemia yang gawat. (Yayasan Spiritia, 2015). HIV telah dibuktikan
terdapat dalam sum - sum tulang. Penekanan sumsum tulang juga dapat
berkaitan dengan infeksi mikrobakteri, infeksi jamur, dan limfoma (Harrison,
2000). Mengingat sumsum tulang adalah tempat membuat sel sel darah
merah.(Yayasan Spiritia, 2015).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Fransiska dan Kurniawaty (2015) ditemukan bahwa anemia merupakan masalah hematologi yang paling sering
dijumpai pada infeksi HIV. Anemia dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada infeksi HIV sehingga penatalaksanaan yang tepat dapat meningkatkan
kualitas hidup penderita HIV/AIDS. Tim menemukan bahwa
pasien AIDS dengan anemia menderita tingkat kematian 59%. Ini tinggi
dibandingkan dengan pasien yang meninggal karena penyebab seperti TB 26%
tingkat kematian, sepsis 22%, penyakit
ginjal yang berkembang dengan HIV 12%, sarkoma Kaposi 10%, kanker 7% ,dan
penyakit lain 16% (Hayden, Eastwood.2009). Pravelensi anemia pada infeksi HIV berkisar
adalah 1,3 – 95%, dipengaruhi oleh stadium penyakitnya, semakin lanjut
penyakitnya maka kejadian anemia makin tinggi ( Rachmat Sumantri, 2009). Beberapa obat dapat menyebabkan anemia dalam berbagai
cara Human Immunodeficiency Virus dan
sindrom defisiensi imun yang diperoleh (AIDS) dapat menyebabkan anemia
(Proverawati A,2011).
Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan /
atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani & Haribowo,2008). Klasifikasi anemia secara morfologik
yaitu berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan
apusan darah tepi
atau dengan melihat indeks eritrosit (Bakta, 2006).
Berdasarkan
latar belakang di atas maka peneliti melakukan penelitian tentang anemia pada penderita HIV/AIDS.
B. Tujuan
1. Mengetahui kejadian anemia pada darah penderita HIV/AIDS dengan melihat
pemeriksaan kadar hemoglobin
pada darah penderita
2. Mengetahui Faktor – Faktor yang yang dapat
menyebabkan anemia pada
penderita HIV/AIDS
C. Ruang Lingkup
Penelitian ini
bersifat deskriptif yaitu untuk
menggambarkan anemia pada penderita HIV/AIDS dengan melihat kadar hemoglobin pada jurnal penelitian yang masuk dalam
kategori terjadinya anemia pada penderita HIV/AIDS, bidang
kajian yang diteliti adalah Hematologi,
penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2020 di Jurusan
Analis Kesehatan Poltekkes Tanjung Karang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Teori
1.
Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
a.
Pengertian Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Virus HIV adalah retrovirus yang
termasuk dalam family lentivirus (Kuswiyanto,2016). HIV ( Human
Immunodeficiency Virus ) adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis
virus yang secara progresif merusak sel –sel darah putih yang disebut limfosit,
menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrom) merupakan suatu
penyakit imunokompromis yang berbahaya(Yvonne Y,2015). Dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan
kekebalan tubuh. Terdapat 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2,
HIV-1 paling banyak ditemukan didaerah Barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah,
Selatan dan Timur. HIV-2 Terutama Di Afrika Barat. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat
kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang
dibentuk setelah kita lahir.AIDS disebabkan
oleh virus yang disebut HIV
atau Human Immunodefi- ciency Virus. Bila kita terinfeksi HIV, tubuh kita akan mencoba menyerang infeksi. Sistem kekebalan kita akan membuat ‘antibodi’, molekul khusus yang
menyerang HIV itu.Supaya
terjadi infeksi, virus masuk kedalam sel dalam hal ini sel darah putih yang
disebut dengan limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembang biak dan pada akhirnya menghancurkan
sel serta melepaskan partikel virus yang terbaru, partikel virus yang baru
kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada
limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4 yang terdapat di
selaput bagian luar. Sel – sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel
CD4+ atau limfosit T penolong.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehigga terjadi
kelemahan system tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker
(Mahdiana R, 2010).
b.
Morfologi
Bentuk HIV tediri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar – melebar. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional
dan stuktural
en tersebut yaitu gag,
pol, dan env. Gag berarti group antigen, pol mewakili polymerase, dan env
adalah kepanjangangan dari envelope. Gen gag mengode protein inti. Gen pol
mengode enzim reverse transcriptase, protease, integrase. Gen env mengode
komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein (Kuswiyanto,2016).
Sumber:
(Robbins, 2009).
Gambar 2.1. Struktur HIV.
Virion HIV-1 berbentuk bulat dan mengandung sebuah inti electron-dense berbentuk kerucut yang
dikelilingi oleh selubung (envelope) lemak yang berasal dari membran sel pejamu.
Inti virus mengandung (1) protein kapsid utama p24; (2) protein nukleokapsid
p7/p9; (3) dua salinan RNA genom; dan (4) tiga enzim virus (protease, reverse transcriptase, dan integrase).
p24 adalah antigen assay. Inti virus
dikelilingi oleh suatu matriks yang disebut p17, yang terletak di bawah
selubung virion. Selubung virus mengandung dua glikoprotein virus, gp120 dan
gp41, yang penting untuk infeksi HIV ke sel (Robbin, 2009).
.
c. Etiologi
Pada tahun 1983, ilmuan Prancis
Montagnier ( Institute Pasteur, Paris), mengisolasi virus dari pasien dengan
gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV, sehingga virus ini dinamakan lymphadenopathy associated virus ( LAV). Pada tahun 1984 Gallo ( National
Institute Of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic virus HTLV-III
yang juga menyebabkan AIDS. Pada tahun 1986 di afrika ditemukan beberapa tipe
HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di
Afrika Barat. Virus HIV termasuk sub family Lentivirinae dari Famili
Retroviridae (Widiyono,2008). Dan pada tahun 1987 penyakit ini mulai dikenal di
Indonesia dan kejadiannya terus meningkat (Yvonne,2015).
Asam nukleat dari family retrovirus
adalah RNA yang mampu membentuk DNA dari RNA. Enzim transcriptase reversi
menggunakan RNA virus sebgai cetakan untuk membentuk DNA. DNA ini bergabung
dengan kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel makrofag) yang berfungsi sebagai
pengganda virus HIV.
Secara sederhana sel
HIV terdiri dari :
1.
Inti – RNA dan
enzim transcriptase reverse polymerase, protease, dan integrase
2.
Kapsid – antigen
p24.
3.
Sampul (antigen
p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp 41)
(Widoyono,2008).
d. Klasifikasi virus HIV
Asam nukleat : ss-RNA ( single strained
Ribonuclead Acid)
Family : retroviridae
Genus : lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus- 1
Human
Immunodeficiency Virus – 2 (Jawetz,2014)
e. Daur Hidup HIV
Virus HIV pun hanya dapat bertahan hidup
dan berkembang diri dalam sebuah sel, dengan demikian daur hidup virus
berlangsung dalam sel. Daur hidup HIV dapat dibedakan dalam 4 tahap:
1)
Tahap masuknya
virus dalam sel, proses masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan
struktur permukaan virus dan inang. Sebelum terjadi ikatan spesifik antara
partikel virus dan permukaan sel inang, berlangsung penempelan karena adanya
muatan listrik yang berlawanan. Permukaan molekul gp 120 bermuatan positif
menempel dengan proteoglikan dari lektin permukaan yang bermuatan negatif.
Setelah terjadi penempelan dengan mekanisme tersebut disusul oleh ikatan
spesifik pertama antara gp 120 yang memiliki cekungan kecil dengan molekul CD4
yang dimiliki sel inang, dengan demikian molekul CD4 yang sangat penting dalam
proses respon imun, sekaligus bertindak sebagai reseptor bagi virus HIV, ikatan
ini akan memicu perubahan struktur gp 120 sehingga gp 41 yang terdapat dibalik
gp 120 berikatan dengan ko-reseptor khemokin jenis CCR5 atau CXCR4 sehingga
terbentuk fusi antara membrane HIV dan membrane sel inang. Fusi kedua membrane
mengakibatkan kompleks yang ada di dalam matriks masuk ke sitoplasma sel inang.
2)
Tahap
transkripsi mundur dan integrasi genom
Biasanya transkripsi
substansi genetic pada sel atau virus merupakan sintesis
untaian RNA dengan molekul DNA sebagai pola
cetaknya tetapi pada retrovirus yang subtansi genetiknya berbentuk untaian RNA
tidak demikian prosesnya, walaupun retrovirus memiliki substansi genetic
berbentuk untaian RNA, namun untuk kepentingan hidupnya tetap dilakukan
transkripsi. Dalam memanfaatkan kelengkapan yang dimiliki sel, genom virus
harus digabungkan dengan genom sel inang dengan cara diintegrasikan melalui
penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom
retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan dalam genom sel inang
molekul RNA harus ditranskripsikan mundur menjadi molekul DNA, itulah sebabnya
dalam “inti” retrovirus di dekat untaian RNA dilengkapi dengan enzim yang
dinamakan reverse transcriptase ( RT
) atau “ RNA-dependent DNA polymerase
“ yang diperlukan untuk ditranskripsi mundur.
3)
Tahap replikasi
Seperti virus lain,
untuk dapat memperbanyak diri HIV membutuhkan sel inang yang mempunyai
kelengkapan untuk sintesis protein. Replikasi virus berlangsung setelah
dilakukan integrasi genom virus dalam genom inang dengan produksi salinan virus
dengan bantuan polymerase RNA sel inang.
4)
Tahap perakitan
dan pendewasaan virus
Perakitan partikel
virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membrane sel inang yang terinfeksi,
tetapi perakitan dapat diawali ketika masih terdapat dalam vesikel sekresi yang
dilepaskan oleh kompleks golgi. Perakitan komponen virus bergantung pada
protein sel inang yang akan mengikat protein p55 dan mendorong pembentukan inti
virus yang belum dewasa. Satu protein structural yang utama yaitu p6,
menghubungkan daerah membrane plasma yang merupakan tempat berlangsungnya pertunasan partikel vius yang
baru. Bersamaan dengan pertunasan
partikel virus muda di membran sel,
terjadi proses proteolisis kapsid untuk pengembangan menjadi virus dewasa
(Suboowo,2010).
Sumber : Yayasan Spiritia, 2015
Gambar : 2.2 siklus HIV
f. Tanda, gejala dan tahapan HIV/AIDS
Riwayat alamiah infeksi HIV dari tahap awal hingga
ke tahap akhir tergantung pada kekebalan dan kondisi individu, yang memerlukan
waktu 2-15 tahun. Ada beberapa tahapan HIV/AIDS dimulai ketika masuknya virus
sampai timbulnya gejala AIDS :
1)
Tahap pertama (
periode jendela ) :
a)
HIV masuk kedalam
tubuh hingga terbentuk antibody dalam darah.
b)
Penderita HIV
tampak dan merasa sehat.
c)
Pada tahap ini,
tes HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus.
d)
Tahap ini
berlangsung selama 2 minggu.
2)
Tahap kedua (
HIV/ asimptomatik / masa laten) :
a)
Pada tahap ini
HIV mulai berkembang di dalam tubuh.
b)
Tes HIV sudah
bisa mendeteksi keberadaan virus karena antibody yang mulai terbentuk.
c)
Penderita tampak
sehat selama 5-10 tahun, bergantung pada daya tahan. Rata – rata penderita
bertahan selama 8 tahun. Namun di negara berkembang, durasi tersebut lebih
pendek.
3)
Tahap ketiga
(dengan gejala penyakit ) :
a)
Pada tahap ini
penderita dipastikan posistif HIV dengan sistem kekebalan tubuh yang semakin
menurun .
b)
Mulai muncul
gejala infeksi oportunistik, misalnya pembengkakan kelenjar limfa atau diare
terus menerus.
c)
Umumnya tahap
ini berlangsung selama 1 bulan, bergantung pada daya tahan tubuh penderita.
4)
AIDS
a)
Pada tahap ini,
penderita posistif menderita AIDS :
b)
Sistem kekebalan
tubuh semakin menurun
c)
Berbagai
penyakit lain (infeksi oportunistis) menyebabkan kondisi penderita semkain
parah (Najmah, 2016).
g. Patogenesis
Virus HIV menempel pada limfosit sel
induk gp 120, sehingga akan terjadi fusi
membran HIV dengan sel induk.
Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk, HIV
akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV melalui enzim polymerase. Enzim integrasi
kemudian akan membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk.
DNA virus yang dianggap
oleh tubuh sebagai DNA sel induk akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk,
sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan
diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel itu selanjutnya mengambil
selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya.
Mekanisme penekanan pada system imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan
pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T (Widoyono, 2011).
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Irianto Koes, 2014).
Virus HIV dapat menginfeksi banyak jaringan, tetapi dua sasaran utama dari
virus HIV adalah sistem imun dan suasana syaraf pusat. Immunosupresi berat yang
terutama mengenai imunitas seluler merupakan tanda utama AIDS. Penyebab utama
hal ini adalah infeksi dan penurunan besar pada sel T CD4 serta gangguan pada
fungsi sel T penolong yang masih ada (Robbin,2009).
Sumber:
(Robbins, 2009).
Gambar : 2.3 Patogenesis infeksi
HIV
Makrofag dan sel dendritik juga
merupakan sasaran dari infeksi HIV. HIV masuk ke dalam tubuh melalui jaringan
mukosa dan darah yang pertama-tama menginfeksi sel T serta sel dendritik dan
makrofag. Virus HIV yang pada awalnya menginfeksi sel T dan makofag secara
langsung atau dibawa ke sel-sel ini oleh Langerhans. Replikasi virus di
kelenjar limfe regional menyebabkan viremia dan pembenihan yang luas di
jaringan-jaringan limfoid. Viremia dikendalikan oleh respon imun pejamu, dan
pasien kemudian masuk ke fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus di
sel T dan makrofag berlanjut tanpa henti, akan tetapi virus sedikit banyak
dapat ditahan oleh system imun. Penurunan sel CD4 yang berlanjut akibat infeksi
yang produktif yang berakhir dengan penurunan jumlah CD4 dan pasien mengalami
gejala-gejala klinis AIDS. Makrofag juga terinfeksi oleh HIV sejak awal, sel
ini tidak dilisiskan oleh HIV, dan malah dapat menjadi transportasi virus ke
jaringan, terutama otak (Robbins, 2009).
h. Imunopatogenesis Penyakit HIV
Keadaan
imunosupresi berat, yang terutama menyerang imunitas seluler. Merupakan penanda
AIDS. Hal ini terutama disebabkan oleh infeksi dan hilangnya sel T CD4+ serta gangguan pada fungsi kelangsungan
hidup sel T-Helper makrofag dan sel dendrit (yang penting dalam aktivitas sel T
CD4+ ). Juga merupakan
sasaran infeksi HIV, Pertama kali akan dibahas mengenai mekanisme yang terlibat
dalam masuknya virus ke dalam sel T dan makrofag serta siklus hidup virus di
dalam sel. Kemudian akan diikuti dengan tinjauan yang lebih rinci mengenai
nteraksi antara HIV dan target selnya. Molekul CD4+ merupakan suatu
reseptor untuk HIV yang berafinitas tinggi. Hal ini menjelaskan mengenai
tropisme (kecondongan) selektif virus terhdap sel T CD4+ tidak cukup untuk
menimbulkan infeksi selubung gp 120HIV juga harus berikatan pada molekul
permukaan sel lainnya. Peranan ini dimainkan oleh 2 molekul reseptor sel
lainnya CCR5 (sebagian besar makrofag) dan CXCR4 (sebagian besar pada sel T)
kemudia gp 41 akan mengalami perubahan struktural yang memungkinkan masuknya
rangkaian peptida gp 41 ke dalam membran target sehingga memudahkan fusi sel
virus, setelah fusi inti virus yang mengandung genom HIV memasuki sitoplasma
sel. Koeseptor merupakan komponen penting pada proses infeksi HIV. Penemuan
yang terjadi pada koreseptor HIV dapat menjawab pula beberapa pengamatan
mengenai tropisme HIV yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan, telah diamati
bahwa strain HIV dapat diklasifikasikan berdasarkan atas kemampuan relatifnya untuk
menginfeksi makrofag dan atau sel T CD4+. (Robbins, 2007).
i. Gejala
dan Karakterisitik Klinis
Gejala awal infeksi HIV bervariasi dari satu individu ke individu lain.
Beberapa orang tidak mengalami gejala apa pun ketika mereka pertama kali terinfeksi
oleh HIV. Namun yang lebih umum gejala seperti flu termasuk sakit kepala, mual
nyeri tenggorok, demam diare, dan pembesaran kelenjar getah bening muncul
penyakit ini yang disebut sindrom HIV akut, dapat disalah artikan dengan
infeksi virus lain dan biasanya berlangsung dari 1 minggu hingga 1 bulan. Pada
stadium ini sangat tinggi. Ketika virus menyebar melalui sistem limfatik
terjadi juga penurunan jumlah sel CD4+ secara cepat. Respon imun pejamu
terhadap virus secara drastis menurunkan jumlah virus tersebut (Olson, 2017).
Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh
beberapa fase yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai
menurun di bawah 200 (normal 1500), Menurunnya hitungan sel CD4 dibawah 200/ml
menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. untuk lebih memberikan pemahaman
tentang gambaran dan perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemuan beberapa klasifikasi
tahap- tahap infeksi. CDC ( Centers For
Disease Control, USA 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada orang
dewasa sebagai berikut:
Kelompok I : infeksi akut
Kelompok II : infeksi asimtomatis
Kelompok III : limfadenopati generalisata persisten
Kelompok IV : penyakit penyakit lain
IV a :
penyakit konstitusi (panas, diare, kehilangan BB)
IV b :
Penyakit penyakit neurologis ( ensefalitis, demensia)
IV c :
penyakit penyakit infeksi sekunder ( pneumocystis carinii,
cytomegalo virus)
IV d :
kanker sekunder (sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin)
IV e :
keadaan – keadaan lain.
Gambaran
klinis yang sesuai dengan perjalanan penyakit dan lebih bermanfaat bagi
kepentingan klinik diuraikan dalam fase- fase berikut.
1)
Infeksi Akut :
CD4 : 750-1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul
sesudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti
influenza ( flu like syndrome : demam, arthralgia, malaise, anoreksia), gejala
kulit bercak – bercak merah, urtikaria), gejala syaraf ( sakit kepala, nyeri
retrobulber, radiulopati, gangguan kognitif dan efektif), gangguan
gastrointestinal ( nausea, vomitus, diare, kandidiasis orofangitis). Pada fase
ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut
diatas, merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus dan berlangsung kira-
kira 1-2 minggu. Serokonveksi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai
dapat dideteksi 3-6 bulan sesudah infeksi. Seluruh kasus infeksi HIV mengalami
gejala klinis tersebut dan nampaknya perlu dipahami untuk menegakkan diagnosis
dini dan mengalami langkah – langkah selanjutnya.
2)
Infeksi Kronis
Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama
bertahun- tahun kemudian umumnya sekitar 5 tahun keadaan penderita tampak baik
saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe menyeluruh, disebut limfadeopati generalisata
persinten (lgp). Meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak berpengaruh bagi hidup penderita. Sudah mulai
terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih berada pada tingkat 500/ml. Fase ini secara sporadik muncul penyakit –
penyakit autoimun.
3)
Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata – rata sesudah 5
tahun terkena infeksi HIV. Berbagi gejala penyakit ringan atau lebih berat
timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas penderita. :
a. Penurunan imunitas sedang : CD4
200-500, Awal sub – fase ini timbul penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks, namun dapat sembuh spontan
atau hanya dengan pengobatan basa. Penyakit kulit seperti dermatitis seboroik,
veruka vulgaris, moluskum kontangiosum atau kandidiasis oral sering timbul.
Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub- fase ini dan
dapat berlanjut ke sub fase yang lebih lanjut dari sub – fase ini dan dapat
berlanjut ke sub fase berikutnya (
sub-fase B), Demikian juga yang disebut AIDS Related cpmplex) ARC. Keadaan yang
disebut AIDS dapat terjadi pada sub fase ini misalnya bila sudah ditemukan
sarkoma kaposi, limfoma non hodgkin dan lainnya. AIDS related complex (ARC)
adalah keadaan yang ditandai oleh gejala gejala seperti demam yang berlangsung
> 3 Bulan, penurunan berat badan >
10%, limfadenopati berlangsung >3bulan, diare, kelelahan dengan
keringat malam.
Penurunan imunitas berat : CD4 < 200, Pada sub
fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita, seperti Pneumocystis carinii,
Toksoplasma, Cryptococcois , tuberkulosa, Cytomegalovirus dan lainnya. Keganasan juga timbul pada sub fase
ini meskipun sering pada fase yang lebih
awal (Daili, dkk 2014).
j. Penularan
HIV hanya dapat ditularkan bila
terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang
peranan penting. Makin besar jumlah virusnya, makin besar kemungkinan
terinfeksi. Jumlah virus yang banyak terdapat pada darah, sperma, cairan vagina, dan serviks serta cairan otak. Dalam saliva,
air mata, urine, keringat, dan air susu hanya ditemukan dalam jumlah yang
sedikit sekali . Terdapat 3 cara penularan HIV, yaitu :
1)
secara vertikal,
dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat melahirkan
atau setelah melahirkan resiko sekitar 25-40% kontak langsung dengan darah atau
produk darah / jarum suntik.
2)
Transfusi darah/
produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi sampai 90% .
3)
Pemakaian jarum
tidak steril/ pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu
narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%. Penularan lewat kecelakaan,
tertusuk jarum pada petugas kesehatan, risikonya kurang dari 0,5%
(Notoatmodjo,2010).
k. Pencegahan
Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan terutama pada pendidikan
masyarakat mengenai cara penularan HIV, dengan tujuan
merubah
kebiasaan orang orang yang beresiko tinggi untuk menular.
Cara- cara pencegahan ini antara lain:
1)
Untuk orang
sehat
Abstinens ( Tidak Melakukan Hubungan
Seksual )
Seks Aman (Terlindungi)
2)
Untuk penderita
HIV positif :
Abstinens
Seks aman
Tidak mendonorkan darah atau organ
Mencegah kehamilan
Memberitahu mitra seksualnya sebelum dan
sesudah diketahui terinfeksi.
3)
Untuk penyalahgunaan
obat- obatan :
Menghentikan penggunaan suntikan bekas
atau bersama – sama
Mengikuti program rehabilitasi
4)
Untuk
profesional kesehatan :
Menggunakan sarung tangan lateks pada
setiap berkontak dengan cairan tubuh Menggunakan jarum sekali pakai.
Bermacam macam vaksin sudah dicoba untuk mencegah
dan memperlambat progresivitas penyakit, akan tetapi sejauh ini belum ada yang
berhasil. Permukaan- permukaan yang terkontaminasi HIV dengan mudah dibersihkan
dan disucihamakan karena virus ini rusak oleh panas dan cairan desinfektan yang
biasa digunakan seperti hidrogen peroksida dan alkohol (Mahdiana, R 2010).
l. Diagnosis Laboratorium
Bukti adanya infeksi HIV dapat
diddeteksi melalui tiga cara 1. Isolasi virus, 2. Penentuan antibody antivirus
secara serologis, 3. Pengukuran antigen atau asam nukleat virus.
1)
Isolasi virus,
HIV dapat dibedakan dari limfosit dalam darah perifer dan sesekali dari
specimen yang berasal dari tempat lain). Jumlah sel terinfeksi di dalam
sirkulasi beragam menurut stadium penyakit. Titer virus dijumpai lebih tinggi
di dalam plasma dan dalam sel darah perifer penderita AIDS, Dibandingkan dengan
individu tanpa gejala. Derajat viremia plasma tampaknya lebih berkolerasi
dengan tahap klinis infeksi HIV dibandingkan adanya antibodi apapun. Tekhnik
isolasi virus yang paling sensitive adalah melakukan kokultivasi sampel tes
dengan mononuklear yang tidak terinfeksi, dirangsang oleh nitrogen yang diambil
dari darah perifer. Isolasi primer HIV sangat lambat bertumbuh dibandingkan
dengan galur yang telah diadaptasi di laboratorium, pertumbuhan virus dideteksi
dengan menguji adanya aktivitas reverse transcriptase virus atau antigen
spesifik virus didalam cairan supernatan kultur setelah 7-14 hari. Kebanyakan
orang yang positif mengandung antibodi HIV-1 didalam tubuhnya akan memiliki
virus yang dapat dikultur dari sel darah mereka. Akan tetapi teknik isolasi
virus ini memakan waktu dan merepotkan sehingga terbatas hanya untuk
penelitian, teknik amplifikasi PCR umum digunakan untuk mendeteksi virus dalam
specimen klinis.
2)
Serologi, di
pasaran tersedia kit pemeriksaan untuk mengukur antibodi yang menggunakan enzim
linked immune assay jika dilakukan dengan benar, sensitivitas dan spesifitasnya
melebihi 98% jika uji antibody yang memanfaatkan EIA ini digunakan untuk
menapis populasi dengan prevalensi infeksi
HIV yang rendah (missal. Pendonor darah), Terdapat uji cepat yang dapat
mendeteksi antibody HIV dalam spesimen
darah utuh tanpa perlu pemrosesan, dapat dikerjakan di luar laboratorium.
Tersedia pula alat uji dirumah, prosedurnya adalah dengan meneteskan darah dari
cukit jari ke atas kartu khusus, kartu ini kemudian akan dikirmkan ke lisensi
khusus untuk dilakukan pemeriksaan. Purata waktu serokonveksi pasca- infeksi
HIV adalah 3-4 minggu. Kebanyakan orang akan memiliki antibodi yang dapat dideteksi dalam 6-12 minggu pasca- infeksi, sementara dalam waktu
6 bulan hampir semua orang akan menunjukan hasil positif.
3)
Deteksi antigen
atau asam nukleat virus, Pemeriksaan amplifikasi RT-PCR, PCR –DNA, dan UJI bDNA
sering digunakan untuk mendeteksi RNA virus di specimen klinis. Uji - uji ini
dapat menjadi uji kuantitatif jika menggunakan standar referensi kontrol
positif dan negative yang tepat harus dicantumkan dalam tiap uji, uji dengan dasar ini sangat
penentuan beban virus dalam plasma (Jawetz, 2012).
m. Masalah
Sosial Dan Ekonomi
HIV/AIDS juga berdampak secara social dan ekonomi, yakni penyandangnya
mengalami masalah yang cukup berat dalam bersosialisasi baik di lingkungan
tempat tinggal, sekolah ataupun pekerjaan (Diyanayati K, 2006). Masalah sosial,
penyakit ini telah menimbulkan gejolak social di banyak tempat, seperti
gelombang demostrasi para orang tua yang ketakutan anaknya akan ketularan dari
teman sekolah anaknya, menolak penerimaan anak yang menderita AIDS untuk
sekolah, penolakan pasien AIDS untuk tinggal di suatu wilayah sampai tindakan laian
yang lebih kejam.
Secara ekonomi, permasalahan yang
dirasakan oleh ODHA disamping biaya hidup sehari – hari juga perlu mencukupi
kebutuhan biaya perawatan dan pengobatan sepanjang sisa hidupnya, sementara
dalam mempertahankan dan atau memperoleh pekerjaan, mereka mengalami kesulitan
sebagai akibat dari sikap dan perlakuan diskriminatif masyarakat selama ini. Saat ini telah ada CST ( care, support and
treatment ) program ini dimulai sejak seseorang didiagnosis HIV (Diyanayati K, 2006).
2.
Cluster Of
Differentation 4 (CD4)
Cluster
Differentiation adalah istilah untuk molekul permukaan
leukosit yang merupakan epitop dan dapat diidentifikasi dengan antibodi
monoklonal. Jumlah sel CD4 dalam darah
mulai menurun di bawah 200/mm3 dan dalam jumlah normal 1500 sel/mm3.
(Bratawidjaja,
2014).
Molekul
permukaan disebut juga dengan antigen Cluster
of Differentiation (CD) dan salah satu CD yang penting adalah CD4 yang
ekspresi selularnya terdapat pada subset
limfosit dan sel inflamasi sel T (sekitar 2/3 sel T perifer), monosit dan
makrofag. CD4 adalah simbol untuk glikoprotein yang diekspresikan pada
permukaan limfosit T (Baratawidjaja, 2010). Limfosit T, limfosit T atau sel T
yang mempunyai 2 fungsi utama, yaitu regulasi sistem imun dan membunuh sel yang
menghasilkan antigen target khusus. Masing masing sel sel T mempunyai marker
permukaan seperti CD4+, CD8+ (membunuh sel yang
terinfeksi oleh virus dan bakteri) , dan CD3+ yang
membedakannya dengan sel lain. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi
sel B, sel killer, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus
(Kuswiyanto, 2016).
3.
Mekanisme
Imunodefisiensi Sel T pada infeksi HIV
Infeksi sel T
dan replikasi virus di dalam sel yang terinfeksi adalah mekanisme utama
penyebab lisis sel T CD4 oleh HIV. Sekitar 100 milyar partikel virus partikel
virus baru terbentuk setiap hari, dan 1 sampai 2 milyar sel T CD4 mati setiap
hari. Terjadi penurunan jumlah CD4 dalam darah, meskipun demikian sel-sel T
yang terinfeksi secara produktif relatif jarang dijumpai di dalam sirkulasi.
Pengamatan ini mendorong timbulnya banyak hipotesis yang berupaya menjelaskan
penurunan jumlah sel T CD4 melalui
mekanisme selain sitolisis sel langsung. Sekarang dipercayai bahwa HIV dapat
menyebabkan penurunan jumlah sel T melalui beberapa cara yang tidak melibatkan
efek sitopatik langsung virus (Robbins, 2009). Pada infeksi
HIV pemeriksaan yang tepat dan ditetapkan sebagai gold standar adalah pemeriksaan limfosit CD4 dan juga viral load ( S.B.K Dwiadnyana, 2018)
Sumber:
(Robbins, 2009).
Gambar 2.4 : Mekanisme
penurunan jumlah CD4 pada infeksi HIV
4.
Anemia
Anemia adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah (eritrosit)
dalam sirkulasi darah
atau massa hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa
oksigen keseluruh jaringan. Anemia secara laboratorik yaitu keadaan apabila
terjadi penurunan dibawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit ( packed red cell). Secara klinis kriteria anemia di Indonesia
umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30% dan eritrosit <
2,8juta/ mm3 (Tarwoto;Wartonah, 2008).
Sum-sum tulang membuat sel darah merah, proses ini membutuhkan zat besi,
serta vitain B12 dan asam folat Eritropoietin merangsang pembuatan sel darah
merah . EPO adalah hormon yang dibuat oleh ginjal . Anemia dapat terjadi bila
tubuh kita tidak membuat sel sel darah merah secukupnya, anemia juga dapat
menyebabkan kerusakan pada sel tersebut, ada beberapa faktor yang dapat sebabkan
anemia :
a. kekurangan zat besi, vitamin B12 atau asam folat,
kekurangan asam folat
dapat
menyebabkan jenis anemia yang disebut megaloblastik, dengan sel
darah merah
yang besar berwarna merah muda.
b. Kerusakan pada sum – sum tulang atau ginjal
c. kehilangan darah akibat perdarahan dalam atau pada
siklus haid perempuan
d. penghancuran sel darah merah (Yayasan Spiritia,
2015).
Adapun Salah satu dari tanda yang paling sering adalah
pucat, keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin dan vaskonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2
ke organ- organ vital. Warna kulit, suhu dan kedalaman serta distribusibantalan
kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva
merupakan indicator yang lebih baik untuk menilai pucat.
(a)
(b)
Sumber : (Hoffbrand,
2013)
Gambar 2.5 :
a) pucat pada mukosa konjungtiva dan (b)
pada dua pasien dengan anemia berat
(hemoglobin 6,0 g/dl)
a) Klasifikasi
anemia berdasarkan morfologik
Pada klasifikasi morfologik anemia,
mikro – makro menunjukan ukuran Sel Darah Merah
dan kromik untuk menunjukan warnanya:
Pertama,
Anemia Normokromik Normositik atau Normokrom Normositer sel darah merah
memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah hemoglobin normal.
Penyebab – penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolysis,
penyakit – penyakit yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal,
dan kegagalan sumsum tulang. Pada anemia jenis ini kadar kadar MCV dan MCHC
normal (Price: Wilson, 2005). Kadar MCH pada anemia jenis ini normal (
Tarwoto;Wartonah, 2008).
Kedua,
anemia normokromik makrostik atau makrositer, yang memiliki sel darah merah lebih
besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal.
Keadaan ini disebebkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA) atau asam folat keduanya. Anemia normokromik dapat juga
terjadi pada kemoterapi kanker,karena agen – agen menganggu sintesis DNA. Pada
anemia jenis ini didapatkan kadar MCV meningkat dan MCHC normal (Price: Wilson,
2005). MCH normal (Kurniawan, 2016).
Ketiga,
Anemia Hipokromik Mikrositik atau Mikrositer. Mikrositik berarti sel kecil dan
hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari
hemoglobin , sel sel lain ini mengandung hemoglobin dalam dalam jumlah yang
kurang normal. ( Price; Wilson , 2005) Pada Anemia jenis ini MCV, MCHC,MCH
rendah. ( Tarwoto; Wartonah, 2008).
5. Pemeriksaan Laboratorium Untuk
Anemia
Umumnya pemeriksaan Laboratorium untuk Anemia dari
bebrbagai sumber memang berbeda, sebagian besar hanya dengan melihat kadar
hemoglobinnya saja sudah dapat diklasifikasikan atau sudah bisa terdiagnosa anemia, namun beberapa sumber
buku mengatakan anemia dapat ditentukan apabila melalu pemeriksaan kadar
hemoglobin, jumlah sel eritrosit dan pemeriksaan hematokrit.
a) Kadar
Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein berpigmen
merah yang terdapat dalam sel darah merah. Normalnya dalam darah pada laki-
laki 15,5 g/dl dan pada wanita 14g/dl. Rata – rata konsentrasi hemoglobin (
MCHC= Mean cell concentration of haemoglobin ) pada sel darah merah 32g/dl.
Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru- paru dan dalam peredaran
darah untuk dibawa ke jaringan. Ikatan hemoglobin dengan oksigen disebut
oksihemoglobin ( HbO2). Disamping oksigen, hemoglobin, juga membawa
karbondioksida membentuk ikatan karbon monoksihemoglobin (HbCO), juga berperan
dalam keseimbangan pH darah (Tarwoto; Wartonah, 2008). Struktur struktur
hemoglobin terdiri dari 2 unsur utama yaitu : besi yang mengandung pigemen hem
dan protein globin yang mempunyai rantai panjang dari asam amino. Ada 4 rantai
globin yaitu alpha
Nilai
rujukan hitung hemoglobin:
Bayi : 14-24 g/dl
Bayi
baru lahir : 10-17 g/dl
Anak : 11 -16 g/dl
Pria
dewasa : 13,5- 17
g/dl
Wanita
dewasa :
12-15 g/dl (Nugraha, 2018)
dari beberapa sumber yang
lain juga, kadar hemoglobin dapat digunakan sebagai penentu untuk membagi
anemia berdasarkan jenisnya, dari mulai anemia ringan, anemia sedang sampai
anemia berat. Kadar hemoglobin untuk laki – laki <14g/dl dan <12 g/dl untuk
wanita, nilai hb antara 10-12/14 g/dl disebut anemia ringan, kadar hb 7-10 g/dl
disebut anemia sedang, dan kadar hb kurang dari 7 g/dl disebut anemia berat
(Sumantri R, 2009). Tidak berbeda jauh
menurut WHO tahun 2011, pasien dapat dikatakan anemia hanya dengan melihat
kadar hemoglobin nya saja dari darah penderita, berikut kategori anemia menurut
WHO,2011
Tabel
2.1 Kadar hemoglobin untuk jenis anemia ringan,sedang dan berat (WHO,2011)
Populasi |
Non Anemia (g/L) |
Anemia g/L Ringan
Sedang Berat |
||
Anak 6-59 bulan |
≥ 110 |
100-109 |
70-99 |
<70 |
Anak 5-11 tahun |
≥ 115 |
110-114 |
80-109 |
< 80 |
Anak usia 12- 14 tahun |
≥ 120 |
110-119 |
80-109 |
<80 |
Wanita tidak hamil > 15 tahun |
≥ 120 |
110-119 |
80-109 |
<80 |
Wanita Hamil |
≥ 110 |
100-109 |
70-99 |
<70 |
Laki- laki ≥15 tahun |
≥ 130 |
110-129 |
80-109 |
<80 |
Sumber
WHO,2011
6.
Hubungan Anemia
dengan HIV/AIDS
Anemia adalah gangguan
hematologik yang paling sering terjadi pada infeksi HIV dan terdapat pada 18%
individu seropositive asimtomatik, 50% pasien dengan gejala dini, dan 75%
pasien AIDS. Walaupun umumnya ringan, anemia dapat menjadi cukup parah dan mungkin
memerlukan transfusi darah kronis. Penyebab spesifik reversibel anemia pada
pasien HIV di antaranya adalah toksisitas obat, infeksi jamur dan mikrobakteri
sistemik, defisiensi nutrisi, dan infeksi parvovirus B19. Infeksi parvovirus
B19, virus ini merupakan penyebab penting anemia yang harus dicurigai, karena
anemia berespons terhadap terapi immunoglobulin intravena. Kadar eritropoietin
dasar pada pasien infeksi HIV dengan anemia biasanya lebih rendah daripada yang
diperkirakan, dibandingkan dengan derajat anemianya ( Harrison,2000).
Parvovirus B19 bereplikasi didalam sel progenitor eritroid dan dapat
mengakibatkan terhentinya eritropoiesis, lisis sel precursor eritroid dan
akhirnya hilangnya sel darah merah matur. Pada pasien yang mengalami penurunan
proses eritropoiesis seperti pasien sickle cell, infeksi parvovirus dapat
menimbulka krisis aplastik. (Sears, BenjaminW, 2011). Anemia pada
HIV/AIDS bersifat mutifaktoral yaitu gabungan dari beberapa faktor seperti
perubahan dalam produksi sitokin yang mengganggu homopoesis, infeksi keganasan,
malnutrisi, perdarahan dan masih banyak yang lain (Nefiaroza,2018).
Gangguan hematologik sering dijumpai selama perjalanan penyakit infeksi
HIV dan terjadi sebagai akibat HIV, sebagai manifestasi infeksi sekunder dan
neoplasia, dan sebagai efek samping terapi. HIV telah dibuktikan terdapat dalam
sumsum tulang dan terdapat bukti bahwa virus ini mampu menginfeksi sel precursor
hematopietik dini. Penekanan sumsum tulang juga dapat berkaitan dengan infeksi
mikrobateri diseminata, infeksi jamur, dan limfoma. Pemeriksaan histologik
langsung dan biakkan sumsum tulang pada pasien infeksi HIV dengan gangguan
hematologik yang tidak dapat dijelaskan sering bersifat diagnostik, sejumlah
aspirat sumsum tulang dilaporkan mengandung agregat limfoid, yang kemaknaanya
masih belum diketahui. (Harisson, 2000).
Penurunan produksi eritrosit akibat eritropoiesis yang infektif
merupakan akibat faktor utama dibandingkan penyebab lain terjadinya anemia pada
penderita terinfeksi HIV/AIDS. Kadar CD4+ pada penderita infeksi
HIV/AIDS akan cenderung menurun. Hal ini disebabkan karena adanya eritropoiesis
yang infektif, adanya efek sitokin yang menyebabkan hemolisis, proses
peradangan atau infeksi kronis yang dapat menyebabkan penurunan kadar
hemoglobin (Esfandiari F,2014).
Dahulu anemia berat jauh
lebih umum. Lebih dari 80% yang didiagnosis AIDS mengalami anemia dengan
tingkat tertentu. Semakin lanjut penyakit HIV atau semakin rendah CD4, lebih
semakin mungkin munculnya anemia (Yayasan Spiritia,2015). Hal ini disebabkan
CD4 yang menurun pada
penderita HIV akan lebih rentan terkena infeksi sekunder. Infeksi sekunder
biasanya terjadi pada pasien dengan jumlah sel T CD4+ kurang dari
200 permikroliter. Infeksi HIV mampu menurunkan kadar CD4,
Penurunan kadar CD4 berpengaruh pada penurunan kadar hemoglobin dan kejadian
anemia, anemia pada pasien HIV disebabkan 2 hal yaiu, aktivasi gen pro apotosis
(karna menurunya CD4 dan peningkatan jumlah monosit) dan pemberian zidovudin
(Anak Agung Ayu Niti W, 2016). Pada pasien HIV stadium lanjut, zidovudine adalah penyebab utama anemia,
gambaran khas terapi zidovudin adalah peningkatan MCV (Mean Corpuscular Volume)
toksisitas utama zidovudin adalah pada sumsum tulang (Harrison, 2000)
Angka anemia menurun setelah ODHA mulai memakan terapi antiretroviral
(ART). Anemia berat jarang terjadi di Negara maju, namun ART belum memberantas
anemia, suatu penelitian besar menemukan bahwa kurang lebih 46% pasien
mempunyai anemia ringan atau sedang, walaupun sudah memakai ART selama satu
tahun.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan angka anemia semakin
tinggi pada ODHA:
a) Jumlah CD4 yang lebih rendah.
b) Tingkat vitamin D yang lebih rendah
c) Pada perempuan, kelanjutan penyakit HIV
kurang lebuh lima kali lebih umum pada orang dengan anemia, anemia juga
dikaitakan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. (Yayasan Spiritia, 2015).
Anemia bersifat normositik dan
normokromik, kecuali pada pasien yang yang mnerima zidovudin AZT
(Azidothymidine, AZT) yang merupakan makrositik. Jumlah retikulosit normal atau
menurun, mencerminkan respons sumsum tulang yang tidak efektif terhadap anemia (Wintrobe’s
Clinical Hematology, 1993) Penyebab anemia berbagai patofisiologi
melibatkan tiga mekanisme yaitu : pertama, penurunan sel darah merah (RBC), Infeksi
Oportunistik efek langsung dari HIV iu sendiri, obat
myelosupressive, berkurangnya produksi eritropoietin, kedua peningkatan RBC
kehancuran: autoimun anemia, dan ketiga tidak efektifnya produksi RBC : asam
folat dan vitamin B12 defisiensi (De Santis, 2011).
Tabel 2.2 Patogenesis anemia komplikasi infeksi HIV.
A. Infeksi, Peradangan |
1. Anemia Penyakit Kronis |
2. Mycobacterium Avium |
3. Parvovirus B19 |
B. Erythropoiesis Yang Rusak |
1. Penghambatan Progenitor Erythroid Oleh Sel Sel
Penekanan T |
2. Penghambatan Progenitor Erythroid Oleh Antibodi |
3. Berkurangnya produksi eritropoietin yang
diinduksi |
C. Obat menginduksi myelosuppressi |
1. zidovudine AZT |
2. Antibiotik : trimethoprim / sulfmethoxazole,
pentamidine,
primetamine, sulfadiazine, dapson,amfoterisin b. |
3. Obat antivirus : ganciciclovir,
ribavirin,interferon |
D.Penyakit Hemolitik Autoimun |
1. Neoplasia |
2. Limfoma Non – Hodgkin |
3. Sarkoma Kaposi |
Sumber : (Wintrobe’s Clinical Hematology, 1993).
B. Hipotesis Penelitian
Terdapat kejadian terjadinya anemia pada penderita
HIV/AIDS
C.Variabel Penelitian
Variabel yang terdapat
dalam penelitian ini adalah Penderita HIV/AIDS
dan Anemia
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi
Kepustakaan ( Library Research). Studi kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan
dalam mengumpulkan informasi dan data mengenai anemia pada penderita
HIV/AIDS dengan bantuan berbagai
macam material yang ada diperpustakaan seperti dokumen, buku teks, E-book dan Jurnal ilmiah dengan bantuan Google Scholar
B. Prosedur Penelitian
Langkah
– langkah dalam penelitian kepustakaan sebagai berikut :
1.
Pemilihan Topik, adalah suatu hal didalam penelitian yang banyak
melibatkan aspek penting yang akan dibahas, yaitu pada penelitin ini adalah masalah anemia pada penderita HIV/AIDS karna
menurunya sel CD4 yang diikuti dengan menurunnya kadar hb.
2.
Eksplorasi Informasi,sebuah tindakan untuk mencari sebuah informasi dan
pengumpulan data yang bertujuan untuk kepentingan
penelitian dengan melihat data hb pada
pasien dan menuliskan klasifikasi anemia yang terjadi.
Melalui engine Google Search dan Google
Scholar.
3.
Menentukan Fokus Penelitian adalah fokus permasalahan yang dipilih untuk
diteliti. Berkaitan dengan kejadian dan
kemungkinan terjadinya anemia
pada penderita HIV/AIDS.
4.
Pengumpulan Sumber Data adalah cara – cara yang dilakukan oleh peneliti
untuk mendapatkan
data, dengan cara menuliskan hasil anemia yang terjadi pada penderita dengan
menuliskan juga kadar hemoglobin.
5.
Persiapan Penyajian Data, merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan
laporan sehingga hasil dapat dianalisis
sesuai yang diinginkan Data yang
diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel.
6. Penyusunan Laporan, disusun berdasarkan suatu
tujuan yang berkaitan
dengan tujuan penelitian. Laporan baru akan
disusun apabila hasil dari
keseluruhan data terkumpul.
C. Sumber Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian berupa buku, jurnal dari situs internet
seperti Google Scholar, dan beberapa jurnal situs kesehatan asing seperti
Elsevier dan Journal Medical Sciences yang diterbitkan dari kampus penelitian
yang melakukan penelitian terkait, disini penulis menggunakan jurnal penelitian
yang diterbitkan contohnya dari Isfahan Journal Medical
Sciences, yang berkaitan dengan kejadian anemia pada penderita
HIV/AIDS sehingga bisa dilihat atau menentukan anemia berdasarkan
data pemeriksaan darah dan Jumlah sel
CD4 penderita HIV/ AIDS.
D.
Teknik dan Instrument Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan adalah dokumentasi yaitu mencari
data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa Buku, E-book, jurnal
ilmiah, dan artikel dari beberapa situs
internet seperti situs WHO dan juga situs kesehatan Internasional (seperti:
Elsevier) yang terkait dengan topik judul pada penelitian ini. Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya
juga merupakan artikel atau jurnal yang
dipublikasi secara nasional dan memiliki ISSN, atau Internasional terakreditasi
dan dipublikasi dalam waktu 10 tahun terakhir, sesuai dengan topic penelitian i
E. Instrument Penelitian
Instrument
Penelitian kepustakaan ini adalah hasil penelitian dari jurnal terkait , Hasil
penelitian selanjutnya akan di tulis dalam bentuk tabel yang memuat nama
penulis, judul, tahun dan hasiil penelitian dari jurnal, kemudian menuliskan hasil dalam jurnal yang
dilihat serta membuat kesimpulan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik
analisa data yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode analisis isi.
Analisis isi digunakan untuk mendapatkan inferensi yang valid dan dapat
diteliti ulang berdasarkan konteksnya (Kripendoff, 1993). Dalam analisis data
akan dilakukan proses memilih, membandingkan, menggabungkan dan memilih
berbagaipengertian hingga ditemukan yang relevan (Serbaguna,2005).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan
hasil pengumpulan data tentang Anemia pada penderita HIV/AIDS, yang didapatkan
melalui artikel, jurnal dan penelusuran internet dari database Google Scholar.
Diperoleh beberapa jurnal yang memiliki keterkaitan terhadap penelitian studi literatur
ini.
Hasil
4.1 Hasil penelitian kepustakaan ( Library
Research) terhadap 5
jurnal tahun 2009-2016.
NO |
Nama penulis Jurnal |
Tujuan |
Hasil |
1 |
Rachmat sumantri, Rudi W, Ariantana
Agnes (2009)
Judul Artikel prevalensi dan faktor resiko anemia pada HIV- AIDS |
Untuk mengetahui prevalensi dan faktor resiko anemia pada penderita
HIV-AIDS di poliklinik RS.Hasan Sadikin |
Penelitian ini bersifat
Deskriptif. Populasi : 534
penderita HIV/AIDS, Anemia : (41,6%)222
penderita, anemia
ringan: (35%)188
penderita kadar Hb : 10 - (±14g/dl) anemia
sedang :
(5,2%) 28 penderita kadar Hb : 8-10 g/dl anemia
berat: (1,1%) 6
penderita kadar Hb : <8 g/dl |
2 |
Meidani Mohsen, Rezaei F, M
Mohammad Reza, Avijgan M, Katayoun T (2011) Judul Jurnal Prevalensi, Tingkat Keparahan dan Faktor –
Faktor terkait Anemia pada pasien HIV/ AIDS |
Menggambarkan prevalensi anemia dan faktor yang berhubungan pada
pasien HIV positif |
Penelitian ini bersifat Cross –Sectional, Populasi : 212
pasien HIV positif , (28,8% ) pada tahap akhir
HIV (26,2%) tahap AIDS Anemia
sekitar (±71%), Anemia
ringan-
sedang : kadar
Hb 8 – ±13
g/dl Anemia
berat : dengan
kadar Hb
8 g/dL. |
3. |
Gil de Cunha Santis, Fernando C, Denise M, Renata A,
Geovana, Manuela E, Dimas Tadeu, Machado A (2011) Judul Jurnal Hematologi
Kelainan Pada Pasien Terinfeksi HIV |
Untuk mengevaluasi prevalensi sitopenia dengan jumlah CD4 dan
konsentrasi hemoglobin dengan mortalitas. |
Penelitian ini bersifat Cross-Sectional, Populasi
:701 pasien, Anemia: 37,5% (263/701) Tidak Anemia :62,5% (438/701) Pasien yang memiliki tingkat
kadar Hb dibawah
nilai media lebih tinggi mengalami kematian. |
4 |
Yonata Ade, Fransiska Yvonne (2015) Judul jurnal Faktor
Resiko Anemia pada penderita HIV/AIDS dengan terapi Zidovudine di Rumah Sakit
Umum Abdoel Moelok |
Mencari hubungan antara berat badan,stadium klinik HIV/AIDS dan lama
penggunaan zidovudin terhadap anemia pada penderita |
Penelitian ini bersifat Observasional, Populasi: 211
pasien, 42 pasien yang dari rekam medis memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Anemia : 26 pasien Tidak Anemia : 16 pasien |
5 |
Cahyani M.R, Sunarti L.P.,
Niruri, Kumara, K.D (2016) Judul Jurnal Angka Kejadian Anemia Pada Pasien Anak Penderita
HIV/AIDS Di Rsup Sanglah Denpasar |
Mengetahui angka kejadian anemia pada pasien anak penderita HIV/Aids
di RSUP Sanglah Denpasar |
Penelitian ini bersifat
Observasional, Populasi: 39
pasien. Tidak Anemia : (67%) atau
26 pasien HIV/AIDS tidak anemia. Anemia Ringan : (18%) atau 7 pasien anak
penderita HIV/AIDS, kadar Hb : 11-19 g/dl Anemia Sedang : (13%) atau
5 pasien anak
penderita HIV/AIDS, kadar Hb : 7-10,9 g/dl Anemia Berat : (2%) atau 1
anak penderita HIV/AIDS, kadar Hb : <7-<8 g/dl |
B. Pembahasan
Dari hasil
penelitian kepustakaan terkait anemia pada penderita HIV/
AIDS ditemukan 3 jurnal berdasarkan
rentang kadar hemoglobin dan hasil klasifikasi anemia dari anemia ringan, anemia
sedang sampai anemia berat , pada penelitian Sumantri (2009) hasil penelitian
ini terdapat sekitar 534 penderita dengan jumlah yang mengalami anemia sekitar
222 penderita dan rentang kadar hemoglobin untuk mendefinisikan klasifikasi
anemia yang terjadi yaitu anemia ringan, anemia sedang sampai anemia berat. Hal
ini serupa dengan penelitian yang terjadi pada Meidani Mohsen dkk (2011) yaitu
pada hasil penelitiannya 212 pasien positif HIV sekitar 71% mengalami anemia
pada penelitiannya juga menggunakan rentang kadar hemoglobin untuk mengklasifikasikan
anemia yang terjadi, hal ini juga hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Cahyani (2016) yang mengklasifikasikan terjadinya anemia ringan,anemia
sedang sampai anemia berat, menggunakan kadar hemoglobin sebagai acuan.
Pada penelitian Yvonne (2015)
sebanyak 211 pasien HIV, hanya 42 pasien yang memenuhi syarat inklusi dan
eksklusi untuk dijadikan sampel.
Hasil penelitian ini
sebanyak 26 pasien mengalami anemia, sedangkan 16 pasien lainnya tidak
mengalami anemia, kelebihan pada judul penelitian ini dapat mengetahui hubungan
penggunaan zidovudin terhadap dampak anemia yang terjadi pada penderita
HV/AIDS, hal ini benar secara teori dimana penggunaan obat antiretroviral yaitu
zidovudin mempunyai toksisitas utama pada sum sum tulang, seperti yang
diketahui sum sum tulang adalah tempat memproduksi sel-sel darah merah (Harisson,
2000). Oleh karena itu produksi sel –sel darah merah terganggu, dan jumlahnya
berkurang di dalam tubuh, maka terjadi lah anemia. Meskipun obat ini mempunyai
efek samping untuk para penderita HIV/AIDS, Obat antiretroviral jenis zidovudin
merupakan ARV golongan NRTI ( Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitors) dah merupakan agen antiretroviral yang
pertama yang disetujui dan diteliti dengan baik, obat ini terbukti mengurangi
laju perburukan penyakit klinis dan memperpanjang survival pasien yang
terinfeksi HIV.
Pada penelitian Gil de Cunha Santis
(2011) terdapat 701 pasien positif HIV, kejadian anemia ditemukan sebanyak 263
orang, Kelebihan pada penelitian ini diketahui bahwa tingkat kematian lebih
tinggi terjadi pada penderita yang memiliki kadar Hb yang lebih rendah. Kadar hemoglobin rendah dapat terjadi pada
penderita HIV/AIDS, dikarnakan beberapa faktor, antara lain karna penggunaan
obat antiretroviral zidovudin, pemantauan hemoglobin dalam darah penderita harus
dilakukan setidaknya 3 bulan dan faktor – faktor lainnya yang menyebabakan
penurunan kadar hemoglobin adalah jumlah sel CD4, sel CD4 dalam darah penderita
HIV/AIDS yang semakin menurun berakibat juga pada penurunan kadar hemoglobin
didalam darah, sehingga kadar hemoglobin didalam darah rendah, Hemoglobin
merupakan protein khusus yang terdapat dalam sel darah merah dan merupakan 90%
dari bagian setiap sel tersebut (Esfandiary,2014), dan sebagian dokter
mempercayai faktor kadar hemoglobin yang rendah dapat mengakibatkan anemia
(Yayasan Spiritia.2015). Selain itu sel CD4 yang menurun mengakibatkan dampak
IO atau infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS, yang kejadiannya makin
memperburuk keadaan pasien HIV/AIDS (Nefiaroza,2018)
Penurunan kadar hemoglobin itu terjadi karna virus HIV menurunkan
jumlah sel CD4 yang berakibat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin melalui
aktivitas gen pro- apoptosis (karena penurunan jumlah sel CD4 dan peningkatan
jumlah monosit) dan pemberian antiretroviral (zidovudin) selain itu penurunan
produksi eritrosit akibat eritropoesis yang infektif merupakan akibat faktor
utama dibandingkan penyebab lain terjadinya anemia pada penderita terinfeksi
HIV/AIDS. Eritropoesis yang infektif, adanya efek sitokin yang menyebabkan
hemolisis, proses peradangan atau infeksi kronis merupakan faktor terjadinya
penurunan kadar hemoglobin. Produksi sel darah merah sendiri dilakukan didalam
sum sum tulang, Setiap sel darah merah mengandung kira – kira 640 milyar
molekul hemoglobin (Esfandiary,2014)
Virus
HIV juga ditemukan didalam sum sum tulang, virus ini menginfeksi sel prekursor
hematopoietik dini yang berada pada sum sum tulang, fungsi sel tersebut adalah
untuk memproduksi atau merangsang pertumbuhan sel baru didalam sum sum tulang,
oleh karena itu virus ini menghambat pertumbuhan sel- sel hematopoietk pada sum
sum tulang pasien HIV/AIDS, Pada dasarnya anemia pada penderita HIV disebabkan
oleh gangguan pembentukan eritrosit oleh sum sum tulang dan penghancuran
eritrosit dalam tubuh bsebelum waktunya (hemolisis) (Esfandiary, 2014).
Pembentukan sel-sel darah darah merah yang baru, tentu membutuhkan nutrisi yang
bisa didapat dari makanan oleh karena itu pada penderita HIV/AIDS faktor anemia
terjadi dikarnakan salah satunya adalah
malnutrisi, produksi eritrosit yang infektif merupakan mekanisme lain dari
anemia. Infektivitas produksi eritrosit dapat disebabkan oleh defisiensi
nutrisi yang menjadi bahan baku pembentuk eritrosit. Sehingga anemia akibat hal
ini disebut anemia nutrisional paling
sering adalah defisiensi zat besi,asam folat dan vitamin B12. Sedangkan untuk
dapat membuat sel darah merah disum sum tulang, proses ini membutuhkan zat
besi,vitamin B12 dan juga asam folat ( Nefiaroza, 2018).
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan
pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut kejadian
anemia dapat berupa penurunan kadar hemoglobin dan jumlah sel CD4 yang menurun, juga efek terapi antiretroviral dari obat
antiretroviral salah satunya adalah zidovudin:
1. Didapatkan dari kejadian, anemia pada penderita HIV/AIDS umum terjadi.
2. Dari hasil
penelitian kadar atau nilai
hemoglobin
yang dilaporkan para peneliti
pada
gambaran anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat rata – rata dari masing-masing jurnal
mempunyai kemiripan dalam mengkategorikan rentang kadar hemoglobin untuk
mengklasifikasikan kelas anemia ringan sampai anemia berat.
3. Hasil penelitian didapatkan
bahwa Efek terapi
Antiretroviral pada penderita
yang dijalankan khusunya
yang konsumsi obat antiretroviral zidovudin, mempunyai
resiko untuk mengalami anemia, obat
antiretroviral zidovudin
mempunyai toksisitas utama yaitu pada sumsum
tulang (Harrison,2000).
B. Saran
1. Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk
dapat melakukan penelitian data
darah
pasien
HIV/AIDS yang menunjang
diagnosa anemia agar lebih kuat
penegakkan
diagnosanya pada penderita, seperti
melihat nilai hematokrit dan jumlah sel eritrosit.
2. Disarankan untuk
dapat melakukan penelitian lebih lanjut terkait HIV/AIDS
di bidang hematologi, dikarnakan virus tersebut
berada dalam cairan tubuh manusia (didarah) dianjurkan untuk dapat melihat
keadaan jumlah sel darah lainnya seperti sel trombosit atau sel –sel lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian
Kesehatan RI, 2018, Laporan Triwulan IV tahun
2018, Jakarta
I Made Bakta,
2006, Hematologi Klinik Ringkas ,
Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Price, Sylvia Anderson and Wilson , Lorraine Mc Carty, 1994 , Patofisiologi ,
EGC ,
Jakarta
Proverawati, A , 2011, Anemia dan Anemia Kehamilan, Yogyakarta, : Nuha
Medika
Baratawidjaja K Garna, 2014, Dasar Imunologi edisi 11 EGC, Jakarta : FKUI.
Gandasoebrata,
R., 2011. Penuntun Buku Laboratorium
Klinik, Jakarta: Dian
Rakyat
Kuswiyanto, 2016
, Buku Ajar Virologi untuk Analis
Kesehatan , Jakarta, :
EGC
Yayasan Spritia,
2015, Lembaran Informasi tentang HIV dan
AIDS untuk
orang yang hidup dengan HIV (ODHA), Jakarta
Fauci, A.S.,
Lane, H.C . Human Immunodficiency Virus Disease: AIDS and
related disorder. Dalam : Wilson.,Fauci,
AS,Martin, Kasper,DL,Hauser
,SL,Isselbaher, Braunwald: Harrison, 2000 , Prinsip Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta ; EGC. ( editor : bahasa Indonesia oleh :
Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.Pd-KE)
Hayden Eastwood
(2009), Anaemi Is Risk Factor For Mortality
In Patient
With
Aids: Https: www.Mobile.aidsmap.com/anaemia
InfoDatin HIV/AIDS ,2018 dapat diakses : www.depkes.go.id
WHO, 2018 HIV/ AIDS dapat diakses :
https:// www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/hiv-aids
Fransiska , Y.
Y., & Kurniawaty, E. (2015). Anemia
Pada Infeksi HIV.
Benyamin M.,
Edward KSL., Purwanto AP , 2018 .Hubungan
Antara Jumlah
CD4 dan Kadar Hemoglobin pasien
HIV.
Esfandiari F,
2014 , Hubungan Jumlah CD4 dengan
penurunan kadar
Hemoglobin Pada Pasien Terinfeksi HIV/ AIDS.
Tarwoto,
Wartonah, 2008, Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem
Hematologi, Jakarta,; Trans Info Media
Nugraha Gilang,
2018, Pedoman Tekhnik Pemeriksaan
Laboratorium Klinik,
Jakarta Timur,; Trans Info Media
Nugraha Gilang,
2017, Panduan Pemeriksaan Labooratorium
Hematologi
Dasar, Jakarta Timur, Trans Info Media
Mahdiana Ratna,
2010, Mengenal, Mencegah Dan Mengobati
Penularan
Penyakit, Yogyakarta,; Citra Pustaka
Subowo, 2010,
Imunologi Klinik, Jakarta,; CV Agung Seto
Jawetz, Melnicks,
Adelbergh’s, 2012 , Mikrobiologi
Kedokteran, Jakarta,
;Penerbit Buku Kedokteran EGC
Widiyono, 2011, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan &
Pemberantasannya,
; Erlangga EMS
Kumar V, Cotran
RS, Robbins SL, Fausto, 2009, Dasar
Patologis Penyakit.
Edisi 7, Jakarta; EGC
Daili, Syaiful,
2014, Infeksi Menular Seksual, Jakarta;
FKUI
Notoatmodjo,
2010, Kesehatan Masyarakata Ilmu dan Seni,
Jakarta; Rineka
Cipta
G Richard,
Bithell Thomas, Forester J, Athens John, Lukens J, 1993, Wintrobe
Clinical Hematology Ninth Edition
volume 2A, Philadelphia ,
p.1690-
1692.
Vinay k, Ramzi
S.Cotran, SL Robbins, 2007, Buku Ajar
Patologi Edisi
7,
Jakarta; EGC (Editor : Muhammad
Asrorudin,Huriawati
Hertanto,Darmaniah N).
Rittenhouse
Olson, Kate, 2016, Immunologi dan
Serologi Klinis, Jakarta; EGC
( Editor : Herman Octavius Ong, Eka
Anisa Mardela)
Diyanayati
Kissumi, 2006, Jurnal Penelitian dan
pengembangan
Kesejahteraan
Sosial ( Permasalahan penyandang HIV/AIDS) Edisi
3,Vol 11, no 3
Meidani
Mohsen, Rezaei Farshid, Maracy Mohammad Reza, Avijgan Majid,
Katayoun
Tayeri, 2011, Prevalence, Severity, And Related
Factors Of
Anemia In HIV/AIDS Patients, Iran
Yvonne Yolanda, Ade Yonata, 2015, Faktor Resiko Anemia pada HIV/AIDS
dengan terapi Zidovudine di Rumah Sakit Umum
Abdul Moeloek Periode
Periode November 2015, Lampung
Cahyani M.R, Sunarti L.P.S.S, Niruri R, Kumara K.D,
2015, Angka Kejadian
Anemia pada pasien anak penderita HIV/AIDS
di RSUP Sanglah Denpasar, Denpasar
Rachmat Sumantri, Rudi Wicaksana, Agnes R. Ariantana,
2009, Prevalensi
dan Faktor Risiko Anemia pada HIV-AIDS , Bandung
Gil de Cunha
Santis, Fernando Crivelenti Vilar, Renata Amorim Branda,
Zomer Albernaz Muniz, Geovana Momo
Nogueira, Manuela, Emiliana
Amorelli-Chacel, Dimas Tadeu Covas it, Alcyone Artioli Machado,
2011,Hematological abnormalities in
HIV-infected patients,Brazil
G.lee Richard, Bithell, Foerster John, W. Athens, John
N.Lukens.
1993, Wintrobe
Clinical Hematology 9th edition 2A volume
LAMPIRAN
Anemia pada Penderita HIV/AIDS
Ajeng Rizkia Hanum Putri, Aditya2, Sri
Nurain1
Program Studi
Teknologi Laboraborium Medis Program Diploma Tiga
Politeknik
Kesehatan Tanjungkarang
Abstrak
HIV merupakan
salah satu penyakit yang mematikan disebabkan oleh virus HIV berakibat pada
menurunya sistem imun kekebalan tubuh. Anemia merupakan gangguan hematologi
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS, tingkat
kematian anemia pada penderita HIV/AIDS cukup banyak, anemia pada HIV / AIDS
bersifat multifaktoral merupakan gabungan dari beberapa faktor yang disebabkan
infeksi oportunistik yang dialami oleh penderita HIV/AIDS, ditandai dengan
jumlah sel CD4 dalam darah penderita menurun, bisa juga disebabkan oleh
penggunaan obat antiretroviral, perubahan produksi sitokin yang mengganggu
proses hemopoesis, malnutrisi dll. CD4 yang menurun mengakibatkan kadar
hemoglobin dalam darah menurun sehingga terjadi kemunculan anemia pada
penderita HIV/AIDS, virus HIV telah terbukti ditemukan didalam sum-sum tulang,
sum-sum tulang adalah tempat membuat sel darah
baru, tujuan dilakukanya penelitian ini adalah untuk mengetahui kejadian
anemia pada penderita HIV/AIDS dengan melihat hasil pemeriksaan sel darah pada penderita, antara lain kadar hemoglobin,
selain itu untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anemia. Jenis
penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan
sumber data yang digunakan berasal dari jurnal ilmiah. Penelitian dilakukan
pada bulan April-Mei 2020. Hasil penelitian kepustakaan pada kelima artikel
didapatkan bahwa pada penderita HIV/AIDS terjadinya anemia cukup tinggi, dan
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Kata kunci : HIV, AIDS, Anemia, Hemoglobin, CD4
Anemia in HIV/AIDS
Abstract
HIV is a
deadly disease caused by the HIV virus resulting in a decrease in the immune
system anemia. Anemia is a hematological disorder that can increase the
morbidity and mortality of people with AIDS. AIDS death rates of anemia in
people with HIV/AIDS quite a lot of anemia in HIV/AIDS is multifactorial factors caused by opportunistic infections
experienced by people with HIV/AIDS characterized by decreased number of CD4
cells in the blood of patients can also be caused by the use of antiretroviral
drugs changes in cytokine production that disrupt the process of hemopoesis,
malnutrition, and other CD4 which decreases,
ournals, the average value of hemoglobin
levels in malaria sufferers containing, resulting in
decreased hemoglobin levels in the blood so that it occurs emergence of anemia in people with HIV/AIDS, HIV
virus has been found to be found in the bone marrow, bone marrow is a place to
make new blood cells the purpose of this research is to determine the incidence
of anemia in people with HIV AIDS by
looking at the results of examination of blood cells in patients, including
hemoglobin levels and the number of CD4 cells.
In addition to being able to find out the factors that cause anemia the
type of research used in this study is the study of literature with the source
of the data used comes from scientific journals. the research was conducted in
April - May 2020 the results of a literature study on the five articles found
that in patients with HIV/AIDS anemia is high and is caused by several factors
that influence it.
Keywords:
HIV, AIDS, Anemia, Hemoglobin, CD4
Korespondensi
: Ajeng Rizkia Hanum Putri, Prodi Teknologi Laboratorium Medis Program
Diploma Tiga, Politeknik Kesehatan Kemenkes Tanjungkarang, Jalan Soekarno Hatta
No.1 Hajimena Bandar Lampung,, email: ajengrizkiahp@gmail.com
Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome)
saat ini telah menjadi masalah kesehatan darurat global. Di seluruh dunia
35 juta orang hidup dengan HIV dan 19 juta orang tidak mengetahui status HIV
positif mereka (InfoDatin HIV AIDS, 2018).
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang disebut (AIDS) disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (Baratawidjaja,2014). AIDS atau
sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV
(Kuswiyanto,2016).
Menurut WHO, HIV telah
merenggut lebih dari 32 juta jiwa, dan 770.000 orang meninggal karena HIV,
tercatat kejadian antara tahun 2000 sampai 2018, infeksi HIV baru turun dan tingkat kematian
terkait HIV turun 45% dengan 13,6 juta jiwa berhasil diselamatkan karna
pemberian ARV (Terapi antiretroviral), pencapaian ini adalah hasil dari upaya
besar oleh program HIV nasional (WHO, 2018). Data Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia melaporkan sebanyak 34 provinsi, dalam laporan triwulan IV tercatat
sampai dengan Desember tahun 2018 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 46.659 orang, sedangkan untuk kasus
AIDS sendiri sampai Desember 2018 sebanyak 10.190 orang (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018). Jenis kelamin laki – laki sebanyak 67,2 % atau
sekitar 6.846 orang dan perempuan sebanyak 32,8 % atau sekitar 3.340 orang,
serta terdapat 4 orang yang tidak melaporkan jenis kelaminnya atau hanya 0,0 %
(Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi dan SIHA, 2018).
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk
dalam family lenti-virus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya
dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi
yang panjang. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya, hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+
dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit (Kuswiyanto, 2016).
Gangguan hematologik sering
dijumpai selama perjalanan penyakit infeksi HIV yang terjadi sebagai akibat
langsung HIV sebagai manifestasi indeks sekunder dan neoplasia dan berbagai
efek
samping terapi. contohnya yang terjadi pada infeksi sekunder. Infeksi
sekunder merupakan
komplikasi infeksi HIV yang timbul belakangan, biasanya terjadi pada pasien
dengan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 permicroliter, walaupun secara karakteristik disebabkan oleh organisme oportunistik. Infeksi sekunder
merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada pasien infeksi HIV, sekitar 80% persen pasien AIDS meninggal
sebagai akibat langsung selain infeksi HIV, dengan infeksi akibat organisme
oportunis merupakan penyebab utamanya (Harrison, 2000). Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri,
jamur, parasite dan virus tertentu yang bersifat oportunistik (Kuswiyanto,2016).
Tanda utama penyakit HIV adalah imunodefisiensi hebat terutama akibat
defisiensi kuantitatif dan kualitatif progresif subset CD4+ limfosit
T yang disebut sebagai sel T penolong – penginduksi helper (Harrison, 2000).
Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase yang berakhir dalam
defisiensi imun. Jumlah CD4+ dalam darah mulai menurun di bawah
200/mm3 dan penderita akan menjadi rentan terhadap infeksi dan
disebut menderita AIDS (Baratawidjaja, 2012).
Semakin lanjut penyakit
HIV, atau semakin rendah jumlah CD4, maka akan ada kemungkinan kemunculan
terjadinya anemia. Beberapa faktor yang berhubungan dengan angka anemia semakin
tinggi pada ODHA (Orang dengan HIV /AIDS) salah satunya adalah jumlah CD4 yang
lebih rendah (Yayasan Spiritia, 2015), hal ini dibuktikan oleh penelitian
Esfandiary F, 2014 terdapat korelasi positif antara penurunan jumlah CD4+ dengan
penurunan kadar Hb, semakin rendah CD4+ maka terjadinya penurunan
kadar Hb semakin memiliki hubungan positif dengan jumlah CD4 pada pasien
HIV/AIDS yang bermakna penurunan jumlah CD4 sejalan dengan penurunan kadar Hb
dalam darah. Begitu juga dengan penelitian Massang B dkk, 2018 adanya hubungan yang
positif antara penurunan kadar CD4 dengan penurunan kadar hemoglobin pada
pasien HIV baik yang sudah mendapatkan terapi ARV atau pun yang belum
mendapatkan nya sekalipun. Hb atau hemoglobin adalah protein dalam sel darah
merah yang mengantar oksigen dari paru- paru kebagian tubuh yang lain, sebagian
dokter sepakat bahwa tingkat hemoglobin yang di bawah 6,5 g/dl menunjukan
anemia yang gawat. (Yayasan Spiritia, 2015). HIV telah dibuktikan terdapat
dalam sum - sum tulang. Penekanan sumsum tulang juga dapat berkaitan dengan
infeksi mikrobakteri, infeksi jamur, dan limfoma (Harrison, 2000). Mengingat
sumsum tulang adalah tempat membuat sel sel darah merah.(Yayasan Spiritia,
2015).
Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Fransiska dan Kurniawaty (2015) ditemukan bahwa
anemia merupakan masalah hematologi yang
paling sering dijumpai pada infeksi HIV. Anemia dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pada infeksi HIV sehingga penatalaksanaan yang tepat dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS. Tim menemukan bahwa pasien AIDS
dengan anemia menderita tingkat kematian 59%. Ini tinggi
dibandingkan
dengan pasien yang meninggal karena penyebab seperti TB 26% tingkat kematian,
sepsis 22%, penyakit ginjal yang berkembang dengan HIV 12%, sarkoma Kaposi 10%,
kanker 7% ,dan penyakit lain 16% (Hayden, Eastwood.2009). Pravelensi anemia pada infeksi HIV berkisar
adalah 1,3 – 95%, dipengaruhi oleh stadium penyakitnya, semakin lanjut
penyakitnya maka kejadian anemia makin tinggi ( Rachmat Sumantri, 2009). Beberapa obat dapat menyebabkan anemia dalam
berbagai cara Human Immunodeficiency
Virus dan sindrom defisiensi imun yang diperoleh (AIDS) dapat menyebabkan
anemia (Proverawati A,2011).
Anemia adalah keadaan
dimana massa eritrosit dan / atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani
& Haribowo,2008). Klasifikasi
anemia secara morfologik yaitu berdasarkan morfologi eritrosit pada
pemeriksaanapusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit (Bakta,
2006).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti melakukan penelitian
tentang anemia Pada Penderita HIV/AIDS.
Hasil
Penelitian kepustakaan (library research) menggunakan jurnal
ilmiah yang dipubikasi secara nasional maupun internasional dalam 10 tahun
terakhir yaitu antara tahun 2009 – 2016 dengan bantuan penelusuran google
scholar. Pada hasil penelitian ini didapatkan 5 jurnal yang sesuai dengan
tujuan penelitian.
NO |
Nama penulis jurnal dan tahun |
Tujuan |
Hasil |
1. |
Rachmat sumantri, Rudi W, Ariantana Agnes (2009) Judul
Artikel prevalensi dan faktor resiko anemia pada HIV- AIDS |
Untuk mengetahui
prevalensi dan faktor resiko anemia pada penderita HIV-AIDS di poliklinik
RS.Hasan Sadikin |
Penelitian ini bersifat Deskriptif. Populasi : 534 penderita
HIV/AIDS, Anemia : (41,6%)222 penderita, anemia ringan: (35%)188 penderita kadar hb : 10 - (±14g/dl) anemia sedang : (5,2%) 28
penderita kadar hb : 8-10 g/dl anemia berat: (1,1%) 6
penderita kadar hb : <8 g/dl |
2. |
Meidani Mohsen, Rezaei F, M Mohammad Reza, Avijgan M,
Katayoun T (2011) Judul Jurnal Prevalensi, Tingkat Keparahan dan
Faktor – Faktor terkait Anemia pada pasien HIV/ AIDS |
Menggambarkan prevalensi anemia dan faktor yang
berhubungan pada pasien HIV positif |
Penelitian ini bersifat Cross –Sectional, Populasi : 212 pasien HIV positif , (28,8% ) pada tahap akhir
HIV (26,2%) tahap AIDS Anemia sekitar (±71%), Anemia ringan- sedang :
kadar hb 8 – ±13 g/dl Anemia berat : dengan kadar hb 8 g/dL. |
3. |
Gil de Cunha Santis, Fernando C, Denise M, Renata A,
Geovana, Manuela E, Dimas Tadeu, Machado A (2011) Judul Jurnal Hematologi
Kelainan Pada Pasien Terinfeksi HIV |
Untuk mengevaluasi prevalensi sitopenia dengan jumlah CD4
dan konsentrasi hemoglobin dengan mortalitas. |
Penelitian ini bersifat Cross-Sectional, Populasi :701 pasien, Anemia: 37,5% (263/701) Tidak Anemia :62,5%
(438/701) Pasien yang memiliki tingkat kadar hb dibawah nilai media
lebih tinggi mengalami kematian. |
4. |
Yonata Ade, Fransiska Yvonne (2015) Judul jurnal Faktor
Resiko Anemia pada penderita HIV/AIDS dengan terapi Zidovudine di Rumah Sakit
Umum Abdoel Moelok |
Mencari hubungan antara berat badan,stadium klinik
HIV/AIDS dan lama penggunaan zidovudin terhadap anemia pada penderita |
Penelitian ini bersifat Observasional, Populasi: 211
pasien, 42 pasien yang dari rekam medis memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Anemia : 26 pasien Tidak Anemia : 16 pasien |
5. |
Cahyani M.R, Sunarti
L.P., Niruri, Kumara, K.D (2016) Judul Jurnal Angka Kejadian Anemia Pada
Pasien Anak Penderita HIV/AIDS Di Rsup Sanglah Denpasar |
Mengetahui angka kejadian
anemia pada pasien anak penderita HIV/Aids di RSUP Sanglah Denpasar |
Penelitian ini bersifat Observasional, Populasi: 39 pasien. Tidak Anemia : (67%) atau 26 pasien HIV/AIDS tidak
anemia. Anemia Ringan :
(18%) atau 7 pasien anak penderita HIV/AIDS, kadar hb : 11-19 g/dl Anemia Sedang : (13%) atau 5 pasien anak penderita HIV/AIDS, kadar hb : 7-10,9 g/dl Anemia Berat :
(2%) atau 1 anak penderita HIV/AIDS, kadar hb : <7-<8 g/dl |
Pembahasan
Dari
hasil penelitian kepustakaan terkait anemia pada penderita HIV/
AIDS ditemukan 3 jurnal berdasarkan rentang kadar
hemoglobin dan hasil klasifikasi anemia dari anemia ringan, anemia sedang
sampai anemia berat , pada penelitian Sumantri (2009) hasil penelitian ini
terdapat sekitar 534 penderita dengan jumlah yang mengalami anemia sekitar 222
penderita dan rentang kadar hemoglobin untuk mendefinisikan klasifikasi anemia
yang terjadi yaitu anemia ringan, anemia sedang sampai anemia berat. Hal ini
serupa dengan penelitian yang terjadi pada Meidani Mohsen dkk (2011) yaitu pada
hasil penelitiannya 212 pasien positif HIV sekitar 71% mengalami anemia pada
penelitiannya juga menggunakan rentang kadar hemoglobin untuk
mengklasifikasikan anemia yang terjadi, hal ini juga hampir serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Cahyani (2016) yang mengklasifikasikan
terjadinya anemia ringan,anemia sedang sampai anemia berat, menggunakan kadar
hemoglobin sebagai acuan.
Pada
penelitian Yvonne (2015) sebanyak 211 pasien HIV, hanya 42 pasien yang memenuhi
syarat inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sampel. Hasil penelitian ini
sebanyak 26 pasien mengalami anemia, sedangkan 16 pasien lainnya tidak
mengalami anemia, kelebihan pada judul penelitian ini dapat mengetahui hubungan
penggunaan zidovudin terhadap dampak anemia yang terjadi pada penderita
HV/AIDS, hal ini benar secara teori dimana penggunaan obat antiretroviral yaitu
zidovudin mempunyai toksisitas utama pada sum sum tulang, seperti yang
diketahui sum sum tulang adalah tempat memproduksi sel-sel darah merah
(Harisson, 2000). Oleh karena itu produksi sel –sel darah merah terganggu, dan
jumlahnya berkurang di dalam tubuh, maka terjadi lah anemia. Meskipun obat ini
mempunyai efek samping untuk para penderita HIV/AIDS, Obat antiretroviral jenis
zidovudin merupakan ARV golongan NRTI ( Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitors) dah merupakan agen antiretroviral yang
pertama yang disetujui dan diteliti dengan baik, obat ini terbukti mengurangi
laju perburukan penyakit klinis dan memperpanjang survival pasien yang
terinfeksi HIV.
Pada penelitian Gil de Cunha Santis (2011)
terdapat 701 pasien positif HIV, kejadian anemia ditemukan sebanyak 263 orang,
Kelebihan pada penelitian ini diketahui bahwa tingkat kematian lebih tinggi
terjadi pada penderita yang memiliki kadar Hb yang lebih rendah. Kadar hemoglobin rendah dapat terjadi pada
penderita HIV/AIDS, dikarnakan beberapa faktor, antara lain karna penggunaan
obat antiretroviral zidovudin, pemantauan hemoglobin dalam darah penderita
harus dilakukan setidaknya 3 bulan dan faktor – faktor lainnya yang
menyebabakan penurunan kadar hemoglobin adalah jumlah sel CD4, sel CD4 dalam
darah penderita HIV/AIDS yang semakin menurun berakibat juga pada penurunan
kadar hemoglobin didalam darah, sehingga kadar hemoglobin didalam darah rendah,
Hemoglobin merupakan protein khusus yang terdapat dalam sel darah merah dan
merupakan 90% dari bagian setiap sel tersebut (Esfandiary,2014), dan sebagian
dokter mempercayai faktor kadar hemoglobin yang rendah dapat mengakibatkan
anemia (Yayasan Spiritia.2015). Selain itu sel CD4 yang menurun mengakibatkan
dampak IO atau infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS, yang kejadiannya
makin memperburuk keadaan pasien HIV/AIDS (Nefiaroza,2018)
Penurunan hemoglobin itu terjadi karna virus HIV menurunkan jumlah sel
CD4 yang berakibat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin melalui aktivitas gen
pro- apoptosis (karena penurunan jumlah sel CD4 dan peningkatan jumlah monosit)
dan pemberian antiretroviral (zidovudin) selain itu penurunan produksi
eritrosit akibat eritropoesis yang infektif merupakan akibat faktor utama
dibandingkan penyebab lain terjadinya anemia pada penderita terinfeksi
HIV/AIDS. Eritropoesis yang infektif, adanya efek sitokin yang menyebabkan
hemolisis, proses peradangan atau infeksi kronis merupakan faktor terjadinya
penurunan kadar hemoglobin. Produksi sel darah merah sendiri dilakukan didalam
sum sum tulang, Setiap sel darah merah mengandung kira – kira 640 milyar
molekul hemoglobin (Esfandiary,2014)
Virus
HIV juga ditemukan didalam sum sum tulang, virus ini menginfeksi sel prekursor
hematopoietik dini yang berada pada sum sum tulang, fungsi sel tersebut adalah
untuk memproduksi atau merangsang pertumbuhan sel baru didalam sum sum tulang,
oleh karena itu virus ini menghambat pertumbuhan sel- sel hematopoietk pada sum
sum tulang pasien HIV/AIDS, Pada dasarnya anemia pada penderita HIV disebabkan
oleh gangguan pembentukan eritrosit oleh sum sum tulang dan penghancuran
eritrosit dalam tubuh bsebelum waktunya (hemolisis) (Esfandiary, 2014). Pembentukan
sel-sel darah merah yang baru, tentu membutuhkan nutrisi yang bisa didapat dari
makanan oleh karena itu pada penderita HIV/AIDS faktor anemia terjadi
dikarnakan salah satunya adalah
malnutrisi, produk
sel darah merah yang baru, tentu membutuhkan nutrisi
yang bisa didapat dari makanan oleh karena itu pada penderita HIV/AIDS faktor
anemia terjadi dikarnakan salah satunya
adalah malnutrisi, produksi eritrosit yang infektif, merupakan mekanisme
lain dari anemia. Infektivitas produksi eritrosit dapat disebabkan oleh
defisiensi nutrisi yang menjadi bahan baku pembentuk eritrosit. Sehingga anemia
akibat hal ini disebut anemia nutrisional,
paling sering adalah defisiensi zat besi, asam folat dan vitamin B12.
Sedangkan untuk dapat membuat sel darah merah disum sum tulang, proses ini
membutuhkan zat besi,vitamin B12 dan juga asam folat ( Nefiaroza, 2018).
Daftar Pustaka
Fauci, A.S., Lane, H.C . Human
Immunodficiency Virus Disease:
AIDS and related disorder.
dalam Wilson.,Fauci,AS,Martin,
Kasper, DL,Hauser,SL,Isselbaher
DL,Hauser Braunwald:
Harrison,
2000 , Prinsip Prinsip Ilmu
Penyakit
Dalam, Jakarta ; EGC. ( editor : bahasa Indonesia oleh
: Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.Pd-KE)
Bakta, I. M, 2006. Hematologi
Klinik Ringkas, Jakarta: EGC
Kementrian
Kesehatan RI, 2018,
Laporan Triwulan
IV tahun
2018
Jakarta
Nugraha,
G, 2017. Panduan
Pemeriksaan Hematologi Dasa
Jakarta: CV. Trans Info Media.
Price, SA; Wilson LM, 2005. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit,
diterjemahkan
oleh Pendit,
Brahm
U, dkk., Jakarta: EGC.
Meidani
Mohsen, Rezaei Farshid,
Maracy
Mohammad Reza, Avijgan
Majid, Katayoun Tayeri,
2011, Prevalence, Severity, And Related
Factors Of Anemia In HIV/AIDS Patients, Iran
Yvonne
Yolanda, Ade Yonata,
2015,
Faktor Resiko Anemia HIV/AIDS dengan terapi Zidovudine di Rumah
Sakit Umum Abdul Moeloek Periode Periode November 2015, Lampung
Cahyani M.R,
Sunarti L.P.S.S,
Niruri
R, Kumara K.D, 2015, Angka Kejadian Anemia pada pasien anak penderita HIV/AIDS di RSUP Sanglah
Denpasar, Denpasar
Rachmat
Sumantri, Rudi
Wicaksana,
Agnes R. Ariantana,
2009,
Prevalensi dan Faktor Risiko Anemia pada HIV-AIDS, Bandung
Gil de Cunha Santis, Fernando
Crivelenti Vilar, Renata Amorim
Branda, Zomer
Albernaz Muniz, Geovana Momo Nogueira, Manuela, Emiliana Amorelli-Chacel, Dimas
Tadeu Covas it, Alcyone Artioli Machado,
2011Hematologicalabnormalit-ies
in HIV-infected
patients, Brazil
G.lee Richard, Bithell, Foerster
John, W. Athens,
John N.Lukens 1993, Wintrobe Clinical
Hematology 9th edition
2Avolume
Proverawati, A , 2011, Anemia dan
Anemia Kehamilan, Yogyakarta,
Nuha Medika
Benyamin M., Edward KSL.,
Purwanto AP , 2018 .Hubungan
Antara Jumlah CD4
dan Kadar
Hemoglobin pasien HIV.
Esfandiari F, 2014 , Hubungan
Jumlah CD4 dengan penurunan
kadar Hemoglobin Pada Pasien
Terinfeksi
HIV/ AIDS.
Price, Sylvia Anderson and Wilson ,
Lorraine Mc Carty, 1994 ,
Patofisiologi , EGC , Jakarta
Nugraha Gilang, 2018, Pedoman
Tekhnik Pemeriksaan
Laboratorium Klinik, Jakarta
Timur,; Trans Info Media
Mahdiana Ratna, 2010, Mengenal,
Mencegah
Dan Mengobati
Penularan
Penyakit,
Yogyakarta, Citra Pustaka
Subowo, 2010, Imunologi Klinik,
Jakarta,; CV Agung Seto
Jawetz, Melnicks, Adelbergh’s, 2012
Mikrobiologi Kedokteran,Jakarta,
;Penerbit Buku Kedokteran EGC
WHO, 2018 HIV/
AIDS dapat
https://www.who.int/news- room/fact-sheets/detail/hiv-aids
Komentar
Posting Komentar