GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) PASIEN HIV DI PUSKESMAS SIMPUR TAHUN 2018-2019

 

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) PASIEN HIV DI PUSKESMAS SIMPUR TAHUN 2018-2019

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kasus HIV/AIDS sebagai fenomena gunung es terutama di negara-negara yang belum melakukan tes HIV secara merata termasuk Indonesia. HIV terus menjadi masalah kesehatan publik global utama dan telah merenggut lebih dari 32 juta jiwa. Pada tahun 2018, sebanyak 770.000 orang meninggal karena HIV. Sekitar 37,9 juta orang hidup dengan HIV pada akhir 2018, dengan 1,7 juta penderita baru terinfeksi pada 2018 secara global, 62% orang dewasa dan 52% anak-anak yang hidup dengan HIV menerima terapi antiretroviral (ART) seumur hidup pada tahun 2018. Wilayah Afrika adalah wilayah yang paling terdampak, dengan 25,7 juta orang yang hidup dengan HIV pada 2018 (WHO, 2019).

Jumlah kasus HIV positif (kumulatif) di Indonesia cenderung meningkat dari 30.935 kasus pada tahun 2015, meningkat menjadi 41.250 kasus di tahun 2016, dan terus meningkat sebanyak 48.300 kasus pada tahun 2017. Penderita HIV positif pada laki-laki sebesar 63,6% dan pada perempuan sebesar 31,9%. Proporsi kasus HIV masih pada penduduk usia produktif 15-49 tahun, kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Profil Kesehatan Indonesia, 2017).

Berdasarkan data Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, melaporkan dari bulan April sampai Juni jumlah kasus HIV di Indonesia sebanyak 11.519 orang, terjadi pada jenis kelamin laki-laki, dengan rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Presentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan terjadi pada kelompok umur 25-49 tahun (71,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (14,4%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (9%), jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah (kumulatif) kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan juni 2019 sebanyak 349.882 (60,7% dari estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak 640.443). Jumlah kasus HIV tertinggi terdapat di 5 provinsi yaitu DKI Jakarta (62.108), diikuti Jawa Timur (51.990), Jawa Barat (36.853), Papua (34.473), dan Jawa Tengah (30.257)  (Ditjen PP dan PL Triwulan II, 2019).

Kasus HIV di Provinsi Lampung berada pada urutan ke-21 (3.253 kasus) dari total 34 Provinsi yang melaporkan jumlah kasus infeksi HIV. Jumlah kasus HIV dari tahun 2010 hingga 2019 mengalami peningkatan, di tahun 2010 sebanyak 21.591 kasus dan terus meningkat menjadi 22.600 kasus pada tahun 2019 (Ditjen PP dan PL Triwulan II, 2019). Jumlah kasus HIV berdasarkan jenis kelamin dari Kota Bandarlampung mencapai 312 orang pada tahun 2016. Insiden terbanyak ditemukan pada laki-laki sebanyak 230 orang, dan perempuan 82 orang (Profile Kesehatan Provinsi Lampung, 2016).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zuliana (2016) di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung, didapatkan 22,5% pasien HIV reaktif. Hasil pemeriksaan HIV reaktif didapatkan persentase berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu 59,2%, dan jenis kelamin perempuan yaitu 40,8% pasien HIV reaktif. Hasil pemeriksaan HIV reaktif berdasarkan umur didapatkan yaitu pada kelompok umur <15 tahun sebanyak 8 pasien (3,1%), kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 10 pasien (3,8%), kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 35 pasien (13,4), kelompok umur 25-49 tahun sebanyak 191 pasien (72,9%), kelompok umur >50 tahun sebanyak 18 pasien (6,8%).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiyanti (2019) di Puskesmas Rawat Inap Sukaraja tahun 2017-2018, didapatkan 0,7% pasien HIV Reaktif tahun 2017 dan 1,5% tahun 2018. Hasil pemeriksaan tahun 2017-2018 berdasarkan jenis kelamin menunjukan kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 21 pasien sedangkan laki-laki sebanyak 8 pasien. Hasil pemeriksaan HIV berdasarkan usia didapatkan pasien HIV Reaktif terbanyak yaitu pada kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 54,4% pada tahun 2017 dan 83,3% pada tahun 2018.

Menurut Laporan Kinerja Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2017 terdapat dua Puskesmas yang ditunjuk dalam kegiatan perawatan dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di Bandarlampung yaitu Puskesmas Sukaraja dan Puskesmas Simpur. Puskesmas Rawat Inap Simpur terletak di Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Kota Bandarlampung. Di puskesmas rawat inap simpur belum ada yang melakukan penelitian tentang jumlah penderita pada pasien HIV di tahun 2018-2019. Puskesmas Rawat Inap Simpur berdasarkan data rekam medik yang melakukan pemeriksaan HIV pada bulan April-Desember 2017 didapatkan 578 pemeriksaan dan jumlah hasil positif pemeriksaan HIV yaitu sebanyak 55 pasien HIV Reaktif.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar Lampung Tahun 2018-2019”.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka data dirumuskan suatu masalah, bagaimana gambaran hasil pemeriksaaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar Lampung Tahun 2018-2019?

C.    Tujuan Penelitian

1.      Tujuan Umum

Mengetahui jumlah hasil pemeriksaan HIV reaktif pada pasien di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2018-2019.

2.      Tujuan Khusus

a.       Mengetahui hasil persentase HIV reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2018-2019.

b.      Mengetahui hasil persentase HIV reaktif berdasarkan usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019.

 

 

 

D.    Manfaat Penelitian

1.      Manfaat Teoritis

Menjadikan referensi di Perpustakaan Poltekkes Tanjungkarang dan Jurusan Analis Kesehatan serta dapat mengembangkan ilmu pengeta-huan akademik dan menambah wawasan tentang virus HIV dan faktor dampaknya pada sistem imun.

2.      Manfaat Aplikatif

a.       Bagi instansi terkait

Memberikan formasi dan jumlah data penderita HIV ke Dinas Kesehatan Provinsi Lampung agar mengupayakan pencegahan  peningkatan kasus HIV.

b.      Bagi peneliti

Mengetahui serta memperdalam pengetahuan tentang HIV dan mendapatkan pengalaman secara langsung dalam sebuah penelitian.

c.       Bagi masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai jumlah penderita HIV serta lebih peduli terhadap lingkungan masyarakat untuk terhindar dari penyakit yang berbahaya.

E.     Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang Imunoserologi. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung pada bulan Maret-Juni 2020. Data pada penelitian ini diambil dari data rekam medik pasien yang melakukan pemeriksaan HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019. Populasi pada penelitian ini adalah pasien positif HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur. Sampel pada penelitian ini adalah data rekam medik pasien  HIV yang dinyatakan reaktif berdasarkan jenis kelamin, dan usia. Analisis data pada penelitian ini adalah analisis univariat. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.

 

 


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Teori

1.      Human Immunodficiency Virus (HIV)

Human Immunodficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan masalah kesehatan global baik di Negara maju maupun negara berkembang. HIV/ AIDS ditularkan melalui darah penderita, pada waktu transfusi darah atau penggunaan alat suntik yang dipakai bersama-sama. Penularan melalui hubungan seksual baik pada homoseksual maupun heteroseksual dan penularan pada waktu poses persalinan dari ibu yang menderita HIV/AIDS ke anak yang dilahirkan juga merupakan penyebab utama penyakit ini (Soedarto, 2010).

2.      Siklus hidup HIV

Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam genom, ekspresi gen virus dam produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD gliko-protein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.

Virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA penjamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari sistem terapi antivirus (Baratawidjaja, 2010).

Description: C:\ELOK\KTI\JURNAL BARU\IMG-20191218-WA0006.jpg

Sumber: Baratawidjaja, Karnen Garna: Iris R. 2010.

Gambar 2.1 Sel sasaran infeksi HIV dan aktivasi pro-virus

3.      Patogenesis

Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Penularan sebagian besar (75%) terjadi melalui hubungan seksual. Virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian diintergrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus (Daili, 2014).

HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4, terumata sekali limfosit T Helper yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T Helper virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerharis pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS (Daili, 2014).

4.      Dampak infeksi HIV terhadap respons Imun

Infeksi HIV menyebabkan destruksi sel T CD4+ dan sebagian besar virus yang terdapat dalam darah berasal dari sel T CD4+ yang mengalami lisis. Penurunan sel T CD4+ terutama disebabkan destruksi sel ini oleh virus HIV. Efek sitopatik langsung infeksi HIV terhadap limfosit dibuktikan dengan hal-hal berikut:

a.       Produksi virus dengan ekspresi gp41 dan budding partikel virus menyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan lisis osmotik sel CD4.

b.      Membran sel terinfeksi melakukan fusi dengan sel lain yang belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4 sehingga membentuk sel berinti banyak atau syncytia.

c.       DNA virus yang tidak terintegrasi dan terdapat dalam sitoplasma dapat menjadi toksik untuk sel terinfeksi.

d.      Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein sel dan berakibat kematian sel.

e.       Pengikatan gp120 pada CD4 intraseluler yang baru dibentuk dapat menggangu proses ekspresi CD4 pada permukaan sel (Kresno, 2013).

Penurunan jumlah CD4+ dan rasio CD4/CD8 tidak hanya disebabkan destruksi sel oleh virus tetapi akibat gangguan “trafficking” limfosit. Penurunan jumlah sel CD4+ terutama disebabkan kematian sel dan apoptosis akibat pembunuhan langsung oleh virus atau mekanisme sel yang lain, pada saat infeksi HIV akut penurunan jumlah limfosit dalam darah tepi tidak spesifik untuk CD4+ tetapi juga terjadi penurunan jumlah subset CD8+ dan CD20+. Pada saat jumlah limfosit dalam darah tepi berkurang >80%, ukuran kelenjar getah bening dan rasio CD4/CD8 dalam kelenjar masih normal, sekalipun terdapat banyak sel yang mengandung HIV-RNA. Penurunan CD4+ dalam darah tepi tidak saja disebabkan oleh lisis sel CD4+ oleh virus tetapi ekstravasasi sel CD4+ merupakan salah satu factor yang berperan dalam penurunan CD4+ dalam darah (Kresno, 2013).

Sel CD4+ untuk memperbaharui diri dapat disebabkan perubahan hambatan pada sel preserior dan lingkungannya akibat infeksi HIV. Ketidak mampuan sistem imun untuk regenerasi sel T terbukti dari lambatnya repopulasi sel T. Adanya mekanisme alternative di atas merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi infeksi HIV, yaitu bahwa pengobatan penyakit ini dengan menekan replikasi virus saja tidak cukup tetapi perlu disertai upaya untuk mengingkatkan fungsi atau rekonstitusi sistem imun (Kresno, 2013).

5.      Distribusi penderita

a.       Distribusi Penderita menurut golongan usia

Penderita HIV di Indonesia sebanyak (60%) dari semua berusia antara 25-49 tahun. Berdasarkan kelompok usia 25-49 tahun (69,3%), kelompok usia 20-24 tahun (17,1%), kelompok usia >50 tahun (7,3%), dan kelompok usia <4 tahun (1,9%). Penemuan kasus HIV pada usia dibawah 4 tahun menandakan masih ada penularan HIV dari ibu ke anak dan diharapkan menurun di tahun selanjutnya sebagai upaya tujuan nasional dan global dalam rangka triple elimination (eliminasi HIV, hepatitis B dan sifilis) pada bayi. Proposi terbesar kasus HIV masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Profile Kesehatan RI, 2017).

b.      Distribusi Penderita menurut jenis kelamin

Pola penularan HIV menurut jenis kelamin memiliki pola yang hampir sama beberapa tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan (Infodatin, 2016). Presentase kasus baru HIV positif pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Terdata 63,6% dari semua Penderita HIV di Indonesia adalah laki-laki, sementara 36,4% penderita HIV di Indonesia adalah perempuan (Profile Kesehatan RI, 2017).

 

 

6.      Penularan HIV

Virus HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:

a.       Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan dapat menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga dapat terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang dapat menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.

b.      Ibu pada janinnya. Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01%-0,7%, jika ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.

c.       Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. HIV sangat cepat menular karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

d.      Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.

e.       Alat-alat untuk menoreh kulit. Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya dapat menularkan HIV karena alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f.       Jarum suntik yang digunakan secara bergantian. Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh pengguna narkoba (injecting drug user, IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Para pemakai IDU umumnya secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan. HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain (Kuswiyanto, 2016).

7.      Gejala klinis

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang-ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Penurunan sel CD4 < 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang memburuk juga ditunjukan oleh peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein core) dan juga peningkatan IgA (Daili, 2014).

a.       Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokan menjadi 4 golongan yaitu:

1)      Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan-7 tahun lamanya.

2)      Persistent Generalized Lymphadenopathy (PLG) dengan gejala limfadenopati umum.

3)      AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun atau kekebalan.

4)      Full Blows AIDS merupakan fase terakhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2010).

 

b.      Gelaja klinik khas HIV adalah sebagai berikut:

1)      HIV stadium 1 : asimktomatis atau terjadi PLG (persistent generalized lymphadenopathy).

2)      HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis rekuren.

3)      HIV stadium 3 : berat badan menutun lebih dari 10%, diare kronis dengan sebab takjelas lebih dari 1 bulan.

4)      HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gelaja-gejala infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem imun (AIDS) (Soedarto, 2010).

8.      Pencegahan dan Pengobatan HIV

Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi paparan faktor risiko. Pendekatan kunci untuk pencegahan HIV, yang sering digunakan dalam kombinasi, antara lain:

a.       Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan konsisten selama penetrasi vagina atau anal dapat melindungi terhadap penyebaran.

b.      Tes dan konseling untuk HIV dan IMS lainnya sangat disarankan untuk semua yang terpapar pada salah satu faktor risiko, dengan ini orang belajar status infeksi mereka sendiri dan mengakses layanan pencegahan dan perawatan tanpa penundaan.

c.       Pengujian dan konseling, hubungan dengan perawatan Tuberkulosis (TB) penyakit yang paling umum muncul dan penyebab kematian di antara orang dengan HIV, fatal jika tidak terdeteksi atau tidak diobati. Pengobatan TB yang efektif dan resistan terhadap multi-obat dan ART.

d.      Sunat laki-laki medis sukarela, mengurangi risiko infeksi HIV yang didapat secara heteroseksual pada laki-laki sekitar 60%. Pencegahan ini didukung 15 negara di Afrika Timur dan Selatan dengan prevalensi HIV yang tinggi dan tingkat sunat laki-laki yang rendah.

e.       Pengunaan obat antiretroviral (ART) menunjukkan bahwa risiko penularan HIV melalui hubungan seks, di mana kondom tidak digunakan, pada pasangan gay serodifferent secara efektif nol ketika viral load HIV ditekan melalui pengobatan ART (WHO, 2019).

Pengobatan penyakit HIV dapat ditekan dengan kombinasi ART yang  terdiri dari 3 atau lebih obat ARV. ART tidak menyembuhkan infeksi HIV tetapi menekan replikasi virus dalam tubuh seseorang dan memungkinkan system kekebalan untuk memperkuat dan mendapatkan kembali kapasitas untuk melawan infeksi. Pada tahun 2016 WHO mengeluarkan pedoman Konsolidasi edisi kedua tentang penggunaan obat antiretroviral untuk mengobati dan mencegah infeksi HIV. Pedoman ini merekomendasikan untuk menyediakan ART seumur hidup untuk semua orang yang hidup dengan HIV termasuk anak-anak, remaja dan orang dewasa, wanita hamil dan menyusui, terlepas dari status klinis atau jumlah CD4 (WHO, 2019).

9.      A. Diagnosis HIV

Tes serologis, seperti RDT atau Enzyme Immunoassays (EIAs), mendeteksi ada tidaknya antibodi terhadap antigen HIV-1/2 dan HIV p24. Tidak ada tes HIV tunggal yang dapat memberikan diagnosis HIV-positif. Tes ini digunakan dalam kombinasi dan dalam urutan tertentu yang telah divadilasi dan didasarkan pada prevalensi HIV dari populasi yang diuji. Infeksi HIV dapat dideteksi dengan sangat akurat, menggunakan tes pra-kualifikasi WHO dalam pendekatan yang divalidasi (WHO, 2019).

Diagnosis Laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:

a.       Langsung : isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop electron dan deteksi antigen virus Polymerase Chain Reaction (PCR).

b.      Tidak langsung : melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA, Western blot, immunofluorescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA) (Daili, 2014).

B.  Metode umum untuk diagnosis HIV meliputi:

a.       ELISA (Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay)

Prinsip : Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid, baik yang non-spesifik atau spesifik. Setelah antigen diimobilisasi, antibody pendeteksi ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen.

Sensitivitas tinggi, 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tes ELISA akhir-akhir ini telah menggunakan recombinant antigen, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope ditemukan ada semua stadium infeksi HIV, sedangkan antibody terhadap p24 (protein core) bila positif menunjukkan hasil penderita sedang mengalami kemunduran (Daili, 2014).

b.      Western blot

Prinsip : Ikatan antigen –antibodi komplek. Protein pada NC kita anggap sebagai antigen. Antibody primer adalah antibody yang dapat berikatan secara spesifik pada antigen pada NV. Agar dapat melihat ikatan dari antigen-antibodi komplek maka kita memberikan warna pada antigen-antibodi tersebut.

Spesifisitas tinggi 99,6%-100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA yang positif (Daili, 2014).

c.       PCR (Polymerase Chain Reaction)

Prinsip : Penggunaan metode PCR diperlukan empat komponen utama, yakni (1) DNA cetakan, (2) oligonukleotida primer, (3) deosiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim polymerase yang digunakan untuk mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA.

1)      Tes HIV pada bayi, pada saat zat anti maternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis.

2)      Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi.

3)      Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.

4)      Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Daili, 2014).

 

 

 

d.      Imunokromatografi (Rapid Test)

Prinsip : specimen yang diteteskan pada ruang membran bereaksi dengan partikel yang terdapat pada bantalan spesimen mengandung antibodi HIV maka akan timbul satu garis bewarna (Insert Kit SD BIOLINE HIV 1/2).

Perangkat uji cepat dengan kinerja diagnostik yang sebanding dengan metode EIA tradisional (yaitu sensitivitas > 99% dan spesifisitas > 98%) saat ini tersedia secara komersial. Tes HIV cepat dapat didasarkan pada beberapa format tes; tes-tes ini dirancang untuk digunakan dengan specimen individual, cepat dan mudah dilakukan membuatnya lebih hemat biaya dari pada EIA di laboratorium dengan aliran rendah. Mereka dapat digunakan dengan darah utuh serum/plasma dan vena atau kapilar. Sebagian besar tes cepat disajikan sebagai kit yang menggabungkan reagen, dan biasanya tidak memerlukan peralatan tambahan. Hasil tes tersedia dalam 10-30 menit dan interpretasi mereka pada diatas 18 bulan umumnya mudah (WHO, 2010).

B.  Kerangka Konsep

 

Text Box: Persentase hasil pemeriksaan 
a. HIV reaktif di Puskesmas Simpur Bandar Lampung tahun 2018-2019
b. Jenis Kelamin 
c. Kelompok Usia 

 

 

 


Virus HIV

                               

 

 

 

 

 

 


BAB III

METODE PENELITIAN

A.    Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskritif dan rancangan penelitian yaitu cross sectional. Variabel penelitian adalah data rekam medik hasil pemeriksaan HIV yang dinyatakan reaktif berdasarkan jenis kelamin dan usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019.

B.     Lokasi dan Waktu Penelitian

1.      Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung.

2.      Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2020.

C.    Populasi dan Sampel

1.      Populasi

Populasi berjumlah 1.304 yang melakukan pemeriksaan HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019.

2.      Sampel

Sampel pada penelitian ini berjumlah 118 pasien yang dinyatakan reaktif  HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D.    Variabel dan Definisi Operasional Penelitian

NO

Variabel

Definisi

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala

Ukur

 

1

Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan Pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Tahun 2018-2019

Pencatatan

Standar Operasional Prosedur

1.     Reaktif

2.     Non Reaktif

Ordinal

2

Usia

Penderita HIV reaktif berdasarkan kelompok usia di Puskesmas Simpur

Pencatatan dan perhitungan

Data Register Laboratorium

1.     ≤4 tahun

2.     5-14 tahun

3.     15-19 tahun

4.     20-24 tahun

5.     25-49 tahun

6.     ≥50 tahun

Interval

3

Jenis Kelamin

Penderita HIV reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Simpur

Pencatatan dan perhitungan

Data Register Laboratorium

1.       Laki-laki

2.       Perempuan

Nominal

 

E.     Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data sebagai berikut:

1.      Peneliti melakukan penulusuran pustaka terkait dengan judul penelitian

2.      Perizinan ke Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung yang ditunjukan ke kepala instalasi Laboratotium Puskesmas Simpur

3.      Surat pengantar diberikan kebagian rekam medik untuk mendapatkan data yang dibutuhkan berupa jumlah penderita HIV reaktif beserta usia dan jenis kelamin

4.      Dilakukan analisis data hasil rekam medik laboratorium dari Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung.

Data yang dikumpulkan adalah data rekam medik jumlah penderita HIV reaktif yang menjalani pemeriksaan di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung.

 

 

 

 

F.     Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil pemeriksaan yang didapatkan dilakukan dengan menggunakan analisis univariat, variable penelitian yaitu penderita HIV dari data rekam medik berdasarkan kelompok jenis kelamin dan usia, dibuat dalam bentuk tabel agar diperoleh gambaran data. Data tabel tersebut akan dibuat grafik untuk mengetahui persentase jumlah penderita HIV dari pasien yang melakukan pemeriksaan HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019.

 

 

 


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian

Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Reaktif Pasien HIV di Puskesmas Simpur Tahun 2018-2019 adalah sebagai berikut.

Pasien HIV

Reaktif

Non Reaktif

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

2018

56

11,3%

437

88,6%

2019

62

7,6%

749

92,3%

Total

118

100%

1.186

100%

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan HIV Pasien HIV di Puskesmas Simpur Tahun 2018-2019.

           

 

 

 

 

Pada tabel 4.1 bahwa persentase HIV Reaktif pada tahun 2018 yang melakukan pemeriksaan sebanyak 493 kasus dengan persentase (11,3%) lebih besar dari yang melakukan pemeriksaan HIV di tahun 2019.

Tabel 4.2 Data HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Rawat Inap Simpur                                                Bandar  Lampung Tahun 2018- 2019.

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

2018

49

87,5%

7

12,5%

2019

52

83,8%

10

16,1%

Total

101

100%

17

100%

Pada tabel 4.2 bahwa persentase HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan pada tahun 2018-2019.

Text Box: Keterangan:

Gambar 4.1 Grafik Persentase HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas

Rawat Inap Simpur Tahun 2018-2019.

 

Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui jumlah HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin. Kelompok jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan pada tahun 2018-2019.

Tabel 4.3 Data HIV Reaktif berdasarkan Usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar                                                  Lampung Tahun 2018-2019.

Umur (Tahun)

2018

2019

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

£ 4

0

0

0

0

5-14

0

0

0

0

15-19

0

0

1

1,6

20-24

10

17,8

17

27,4

25-49

41

73,2

41

66,1

³ 50

5

8,9

3

4,8

Total

56

100

62

100

Dari tabel 4.3 bahwa persentase HIV Reaktif berdasarkan usia didapatkan jumlah tertinggi yaitu pada kelompok usia 25-49 tahun.

B.     Pembahasan

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur pada tahun 2018 sebanyak 56 kasus HIV Reaktif terjadi peningkatan pada tahun 2019 menjadi 62 kasus HIV Reaktif dengan jumlah sampel 118 pasien HIV reaktif yang memiliki hasil pemeriksaan HIV Reaktif dari 1.304 pasien yang melakukan pemeriksaan HIV selama 2 tahun mengalami peningkatan. Dari 15 Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung menempati urutan tertinggi berjumlah 312 kasus (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2016). Banyak faktor risiko penularan IMS yang telah diidentifikasi termasuk yang menyangkut kesehatan dan perilaku seksual seperti jumlah pasangan seksual, usia saat berhubungan seksual pertama kali, serta variabel demografis seperti usia, ras, tempat tinggal, status ekonomi dan status sosial (Dessunti, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur, persentase HIV Reaktif lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki pada tahun 2018 sebanyak 49 pasien (87,5%) dan pada tahun 2019 sebanyak 52 pasien (83,8%). Pada jenis kelamin perempuan pada tahun 2018  sebanyak 7 pasien (12,5%) dan pada tahun 2019 sebanyak 10 pasien (16,1%). Berdasarkan laporan SIHA tahun 2017, menurut kelompok berisiko, LSL (Lelaki Seks Lelaki) menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif yang melakukan tes HIV, yaitu 6,94%, sedangkan Sero Discordant (salah satu pasangan memiliki HIV, sementara yang lain tidak), dan Pelanggan PS (Pekerja Seks) menempati peringkat pertama dan kedua, yaitu 84,91% dan 9,36% (Pusdatin, 2017). Hasil penelitian ini sejalan dengan data Profil Kesehatan RI 2017 yaitu infeksi HIV terbanyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 63,3% dan pada perempuan sebanyak 36,7%. Prevalensi pada laki-laki disebabkan oleh beberapa hal diantaranya laki-laki memiliki tingkat mobilitas lebih tinggi dari pada perempuan yang pekerjaannya lebih banyak di dalam rumah, gejala klinis pada laki-laki lebih terlihat dari pada perempuan yang biasanya bersifat asimtomatik serta karena faktor risiko pada penelitian ini lebih banyak laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki yang istilahnya disebut LSL yang selama ini dihubung-hubungkan dengan tingginya angka prevalensi IMS terutama HIV (Sridana, 2012).

Prevalensi tingginya IMS pada homoseksual dikarenakan beberapa hal yaitu, seks anal menjadi pilihan utama bagi pasangan homoseksual sehingga kemungkinan terjadinya luka atau lecet ketika penetrasi anal

lebih tinggi, banyaknya pasangan homoseksual yang melakukan seks tanpa kondom, laki-laki homoseksual dapat memiliki lebih dari satu pasangan seks, pasangan homoseksual yang masih takut untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan karena stigma dan diskriminasi oleh masyarakat sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pemberian pengobatan IMS (Wolitski, 2011).

Pasien yang memiliki persentase pemeriksaan HIV Reaktif di Puskesmas Rawat Inap Simpur berdasarkan kelompok usia tahun 2018 menunjukan kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 41 pasien (73,2%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 10 pasien (17,8%), diikuti kelompok usia ³ 50 tahun sebanyak 5 pasien (8,9%), dan pada tahun 2019 menunjukkan kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 41 pasien (66,1%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 17 pasien (27,4%), terendah pada usia 15-19 tahun sebanyak 1 pasien (1,6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan data Profil Kesehatan RI 2017 yaitu infeksi HIV terbanyak terjadi pada usia produktif (15-49 tahun), kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Profil Kesehatan RI, 2017). Kelompok umur 25-49 tahun merupakan kelompok seksual aktif dan mobilitas pada kelompok umur tersebut juga tinggi, sedangkan penderita pada kelompok umur <4 tahun kemungkinan besar tertular secara vertikal dari ibunya (Dinkes Prov Bali, 2015).

Puskesmas Rawat Inap Simpur memiliki program pemeriksaan skrining tes HIV dalam rangka pemutusan mata rantai penularan dengan HIV positif yang dilakukan diluar puskesmas secara bergantian, pada kelompok beresiko, LSL, ibu hamil. Pasien yang dinyatakan Reaktif pada pemeriksaan skrining tes HIV akan mendapatkan VCT (Voluntary counselling and Testing) dan pemeriksaan CD4 serta Viral Load yang dirujuk ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek setiap setahun dua kali.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan

Berdasarkan data hasil pemeriksaan HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar Lampung dapat disimpulkan bahwa:

1.      Pada tahun 2018 jumlah hasil pemeriksaan pasien HIV Reaktif sebanyak 56 pasien (11,3%) dan pada tahun 2019 sebanyak 62 pasien (7,6%).

2.      Persentase hasil HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2018 jenis kelamin laki-laki sebanyak 49 pasien (87,5%), jenis kelamin perempuan sebanyak 7 pasien (12,5%), sedangkan pada tahun 2019 jenis kelamin laki-laki sebanyak 52 pasien (83,8%), jenis kelamin perempuan sebanyak 10 pasien (16,1%).

3.      Persentase hasil HIV Reaktif berdasarkan kelompok usia pada tahun 2018 menunjukan kelompok usia 25-49 tahun tertinggi sebanyak 41 pasien (73,2%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 10 pasien (17,8%), diikuti kelompok usia ³ 50 tahun sebanyak 5 pasien (8,9%), dan pada tahun 2019 menunjukkan kelompok usia 25-49 tahun tertinggi sebanyak 41 pasien (66,1%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 17 pasien (27,4%), terendah pada usia 15-19 tahun sebanyak 1 pasien (1,6%).

B.     Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan :

1.      Petugas kesehatan di Puseksmas Rawat Inap Simpur diharapkan untuk lebih meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat dengan melaksanakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada saat melakukan penjaringan suspek HIV/AIDS dengan menggunakan media massa seperti membagikan brosur, poster, dan leaflet tentang HIV/AIDS sehingga masyarakat mudah menangkap informasi mengenai bahaya penyakit HIV/AIDS dan menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS.

2.      Bagi masyarakat lebih banyak mengetahui informasi mengenai jumlah penderita HIV, penyebab penyakit serta lebih perduli terhadap lingkungan untuk terhindar dari penyakit yang berbahaya.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2019. Laporan Perkembangan  HIV/AIDS dan             Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan II di Indonesia Januari        s/d Juni 2019, Ditjen PP & PL Kemenkes RI.

Dinas Kesehatan Provinsi, 2016 Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2016,              Pemerintah Provinsi Lampung.

Dinas Kesehatan Provinsi, 2017 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017,    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Siti, BK, 2013. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi Kelima,     Jakarta: FKUI.

Daili, Sjaiful Fahmi; Wresti Indriatmi B. Makes; Farida Zubier, 2014. Infeksi          Menular Seksual Edisi Keempat, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Baratawidjaja, Karnen Garna: Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi            Kesembilan. Jakarta: FKUI.

Kuswiyanto, 2016. Buku Ajar Virologi  untuk Analis Kesehatan, Jakarta: EGC.

Soedarto, 2010. Virologi Klinik,  Jakarta: Sagung Seto.

World Health Organization (WHO), 2010. HIV/AIDS Programmer.

World Health Orgazination (WHO), 2019. Fact-HIV AIDS.

PUSDATIN. 2017. InfoDatin SITUASI UMUM HIV/AIDS DAN TES HIV :            Pusat Data dan Informasi Kemenkes Republik Indonesia.

Dessunti EM, Reis AOA. Psychosocial and behavioural factors associated to         STD/AIDS risk among health students. Rev Lat Am Enfermagem. 2007;15(2):267-74.

Sridana ME, Indrayani AW. Karakteristik Pasien pada Infeksi Menular Seksual     (IMS) Pada Puskesmas II Denpasar Selatan Periode Januari-Juni Tahun            2012. ojs unud [Internet]. 2012.

Wolitski RJ, Fenton KA. Sexual health, HIV and sexually transmitted infections   among gay, bisexual and other men who have sex with men in the United    States. AIDS Behav. 2011;15;9-17.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Profil Kesehatan Provinsi Bali [internet].     2015;142.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 1

Brosur Pemeriksaan HIV SD BIOLINE

 

PEMERIKSAAN HIV

METODE KROMATOGRAFI IMMUNOASSAY RAPID TEST

SD BIOLINEHIV-1/2 3.0 (Multi)

 

A.    Pengumpulan dan penyimpanan sampel

1.      Whole blood

a)      Gunakan venipuncture, tampung whole blood kedalam collection tube (antikoagulan seperti heparin, EDTA, dan sodium sitrat).

b)      Jika darah tidak langsung diperiksa, diletakan dilemari pendingin pada suhu 2-80C.

c)      Jika didinginkan pada suhu 2-80C, spesimen darah harus diperiksa sebelum 3 hari.

d)     Jangan gunakan spesimen darah yang telah lebih 3 hari, dapat DDmenyebabkan reaksi nonspesifik.

2.      Plasma atau serum

a)      (Plasma) Kumpulkan whole blood ke dalam collection tube (antikoagulan seperti heparin, EDTA, dan sodium sitrat) dengan venipuncture dan sentrifuge darah untuk mendapatkan plasma spesimen.

b)      (Serum) Kumpulkan whole blood kedalam collection tube (tidak terdapat antikoagulan seperti heparin, EDTA, dan sodium sitrat).

c)      Jika plasma atau serum tidak segera diperiksa letakkan dilemari pendingin pada suhu 2-80C. Apabila disimpan untuk 2 minggu, disarankan dibekukan.

B.     Cara kerja

1.      Keluarkan strip test dari bungkus alumunnium foil, letakkan ditempat datar, dan kering.

2.      Pipet 20𝜇𝑙 spesimen darah dengan 20𝜇l pipet capillary ke tempat sampel atau gunakan mikropipet sebanyak 10𝜇𝑙 plasma atau serum spesimen (20𝜇𝑙 spesimen darah) kedalam tempat sampel.

3.      Teteskan 4 tetes (120𝜇𝑙) buffer secara vertikal ke dalam tempat sampel.

4.      Apabila tes mulai bekerja, akan muncul warna ungu didalam tengah strip test.

5.      Waktu pembacaan 10 sampai 20 menit setelah meneteskan buffer. Baca setelah 10 menit tapi jangan lebih dari 20 menit.

C.     Interpretasi hasil

1.      Hasil negative

Muncul garis berwarna pada garis control (C) mengindikasikan hasil negative.

2.      Hasil positif

a.       Terdapat dua garis berwarna pada garis control dan test 1 mengindikasikan hasil positif HIV-1.

b.      Terdapat dua garis berwarna pada garis control dan test 2 mengindikasikan hasil positif HIV-2.

c.       Terdapat tiga garis berwarna pada garis control, test 1 dan test 2 mengindikasikan hasil positif HIV-1 dan/atau HIV-2.

1)      Jika warna pada garis test 1 lebih gelap dari pada garis test

2. Dapat disimpulkan bahwa HIV-1 positif.

2)      Jika warna pada garis test 2 lebih gelap dari pada garis test

2. Dapat simpulkan bahwa HIV-2 positif.

3.      Hasil invalid

Tidak mucul garis berwarna pada garis control (C) atau garis berwarna hanya muncul garis test (T).

 

 

 

 

 

 

NEGATIF

 

POSITIF

HIV-1

2 GARIS                                                                    3 GARIS

                   

 

HIV-2

2 GARIS                                                                    3 GARIS

                  

 

INVALID

D.    Sensitifitas dan Spesifitas

699 spesimen telah diuji menggunakan SD BIOLINE HIV-1/2 3.0 dan HIV1-2 ELISA kit. Hasil menunjukan SD BIOLINE HIV-1/2 3.0 yang berkorelasi dengan komersial ELISA kit. SD BIOLINE HIV-1/2 3.0 menunjukan sensitifitas sebesar 100% dan Spesifitas 99,8%.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 3

 
Description: C:\Users\acer\Documents\KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK-1.jpgDescription: C:\Users\acer\Documents\KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK-2.jpg

Lampiran 4

 
Description: \\YP1-120F2E3F7CF\SharedDocs\Picture 001.jpgDescription: \\YP1-120F2E3F7CF\SharedDocs\Picture 002.jpg

Lampiran 5

 

Lampiran 6

 
 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 7

 
 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN HIV

DI PUSKESMAS RAWAT INAP SIMPUR BANDAR LAMPUNG TAHUN 2018-2019

 

Alifa Agustina^1, Misbahul Huda², Nurminha³

1Program Studi Teknologi Laboratorium Medis Program Diploma Tiga

Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Tanjungkarang

 

Abstrak

 

Human Immunodficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan masalah kesehatan global baik di negara maju maupun negara berkembang. HIV/ AIDS ditularkan melalui darah penderita, pada waktu transfusi darah atau penggunaan alat suntik yang dipakai bersama-sama. Penularan melalui hubungan seksual baik pada homoseksual maupun heteroseksual dan penularan pada waktu poses persalinan dari ibu yang menderita HIV/AIDS ke anak yang dilahirkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase hasil pemeriksaan HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin dan usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur pada tahun 2018-2019. Analisa data adalah univariat. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel diambil dari data rekam medik hasil pemeriksaan HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin dan usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur pada tahun 2018-2019. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2020. Dari hasil penelitian di tahun 2018 didapatkan 11,3% pasien HIV Reaktif, berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 87,5% dan perempuan 12,5%. Pada tahun 2019 didapatkan 7,6% pasien HIV Reaktif, berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 83,8% dan perempuan sebanyak 16,1%. Hasil pemeriksaan HIV berdasarkan usia didapatkan pasien HIV Reaktif terbanyak yaitu pada kelompok usia 25-49 tahun 73,2% pada tahun 2018 dan 66,1% pada tahun 2019.

 

Kata kunci: HIV, Reaktif

 

Abstract

 

Human Immunodficiency Virus (HIV) is the virus that causes Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) which is a global health problem in both developed and developing countries. HIV / AIDS is transmitted through the patient's blood, during blood transfusions or sharing syringes. Transmission through sexual contact, both homosexual and heterosexual and transmission during delivery from mothers suffering from HIV / AIDS to children born. This study aims to determine the percentage of HIV reactive examination results based on sex and age at the Simpur Inpatient Health Center in 2018-2019. Data analysis was univariate. This type of research is descriptive. Samples were taken from the medical record data of HIV reactive examination results based on sex and age at the Simpur Inpatient Health Center in 2018-2019. The study was conducted in March-June 2020. From the results of the 2018 study, 11.3% of HIV reactive patients were found, based on male gender as much as 87.5% and female 12.5%. In 2019, there were 7.6% HIV reactive patients, based on male gender as much as 83.8% and female as much as 16.1%. The results of HIV testing based on age obtained the most HIV reactive patients, namely in the age group 25-49 years 73.2% in 2018 and 66.1% in 2019.

 

Key words: HIV, Reactive

 

 

 

Korespondensi : Alifa Agustina, Program Studi Diploma Tiga Teknologi Laboratorium Medis, Politeknik Kesehatan Kemenkes Tanjungkarang, Jalan Soekarno-Hatta No. 1 Hajimena Bandar Lampung, mobile 08979765511, e-mail alifaagustina03@gmail.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

Pendahuluan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kasus HIV/AIDS sebagai fenomena gunung es terutama di negara-negara yang belum melakukan tes HIV secara merata termasuk Indonesia. HIV terus menjadi masalah kesehatan publik global utama dan telah merenggut lebih dari 32 juta jiwa. Pada tahun 2018, sebanyak 770.000 orang meninggal karena HIV. Sekitar 37,9 juta orang hidup dengan HIV pada akhir 2018, dengan 1,7 juta penderita baru terinfeksi pada 2018 secara global, 62% orang dewasa dan 52% anak-anak yang hidup dengan HIV menerima terapi antiretroviral (ART) seumur hidup pada tahun 2018. Wilayah Afrika adalah wilayah yang paling terdampak, dengan 25,7 juta orang yang hidup dengan HIV pada 2018 (WHO, 2019).

Jumlah kasus HIV positif (kumulatif) di Indonesia cenderung meningkat dari 30.935 kasus pada tahun 2015, meningkat menjadi 41.250 kasus di tahun 2016, dan terus meningkat sebanyak 48.300 kasus pada tahun 2017. Penderita HIV positif pada laki-laki sebesar 63,6% dan pada perempuan sebesar 31,9%. Proporsi kasus HIV masih pada penduduk usia produktif 15-49 tahun, kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Profil Kesehatan Indonesia, 2017).

Berdasarkan data Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, melaporkan dari bulan April sampai Juni jumlah kasus HIV di Indonesia sebanyak 11.519 orang, terjadi pada jenis kelamin laki-laki, dengan rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Presentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan terjadi pada kelompok umur 25-49 tahun (71,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (14,4%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (9%), jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah (kumulatif) kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan juni 2019 sebanyak 349.882 (60,7% dari estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak 640.443). Jumlah kasus HIV tertinggi terdapat di 5 provinsi yaitu DKI Jakarta (62.108), diikuti Jawa Timur (51.990), Jawa Barat (36.853), Papua (34.473), dan Jawa Tengah (30.257)  (Ditjen PP dan PL Triwulan II, 2019).

Kasus HIV di Provinsi Lampung berada pada urutan ke-21 (3.253 kasus) dari total 34 Provinsi yang melaporkan jumlah kasus infeksi HIV. Jumlah kasus HIV dari tahun 2010 hingga 2019 mengalami peningkatan, di tahun 2010 sebanyak 21.591 kasus dan terus meningkat menjadi 22.600 kasus pada tahun 2019 (Ditjen PP dan PL Triwulan II, 2019). Jumlah kasus HIV berdasarkan jenis kelamin dari Kota Bandarlampung mencapai 312 orang pada tahun 2016. Insiden terbanyak ditemukan pada laki-laki sebanyak 230 orang, dan perempuan 82 orang (Profile Kesehatan Provinsi Lampung, 2016).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zuliana (2016) di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung, didapatkan 22,5% pasien HIV reaktif. Hasil pemeriksaan HIV reaktif didapatkan persentase berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu 59,2%, dan jenis kelamin perempuan yaitu 40,8% pasien HIV reaktif. Hasil pemeriksaan HIV reaktif berdasarkan umur didapatkan yaitu pada kelompok umur <15 tahun sebanyak 8 pasien (3,1%), kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 10 pasien (3,8%), kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 35 pasien (13,4), kelompok umur 25-49 tahun sebanyak 191 pasien (72,9%), kelompok umur >50 tahun sebanyak 18 pasien (6,8%).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiyanti (2019) di Puskesmas Rawat Inap Sukaraja tahun 2017-2018, didapatkan 0,7% pasien HIV Reaktif tahun 2017 dan 1,5% tahun 2018. Hasil pemeriksaan tahun 2017-2018 berdasarkan jenis kelamin menunjukan kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 21 pasien sedangkan laki-laki sebanyak 8 pasien. Hasil pemeriksaan HIV berdasarkan usia didapatkan pasien HIV Reaktif terbanyak yaitu pada kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 54,4% pada tahun 2017 dan 83,3% pada tahun 2018.

Menurut Laporan Kinerja Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2017 terdapat dua Puskesmas yang ditunjuk dalam kegiatan perawatan dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di Bandarlampung yaitu Puskesmas Sukaraja dan Puskesmas Simpur. Puskesmas Rawat Inap Simpur terletak di Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Kota Bandarlampung. Di puskesmas rawat inap simpur belum ada yang melakukan penelitian tentang jumlah penderita pada pasien HIV di tahun 2018-2019. Puskesmas Rawat Inap Simpur berdasarkan data rekam medik yang melakukan pemeriksaan HIV pada bulan April-Desember 2017 didapatkan 578 pemeriksaan dan jumlah hasil positif pemeriksaan HIV yaitu sebanyak 55 pasien HIV Reaktif.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar Lampung Tahun 2018-2019”.

 

Metode

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan populasi dan sampel penelitian ini yaitu data rekam medik pasien yang melakukan pemeriksaan HIV di Puskesmas Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2018-2019. Penelitian ini menggunakan analisa data univariat. Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan seluruh data rekam medik pasien yang dinyatakan reaktif berdasarkan jenis kelamin dan usia. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2020.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil

Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Reaktif Pasien HIV di Puskesmas Simpur Tahun 2018-2019 adalah sebagai berikut.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan HIV Pasien HIV di Puskesmas Simpur Tahun 2018-2019.

Pasien HIV

Reaktif

Non Reaktif

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

2018

56

11,3%

437

88,6%

2019

62

7,6%

749

92,3%

Total

118

100%

1.186

100%

 

 

 

 

 

Pada tabel 4.1 bahwa persentase HIV Reaktif pada tahun 2018 yang melakukan pemeriksaan sebanyak 493 kasus dengan persentase (11,3%) lebih besar dari yang melakukan pemeriksaan HIV di tahun 2019.

Tabel 4.2 Data HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Rawat Inap Simpur                                                Bandar  Lampung Tahun 2018- 2019.

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

2018

49

87,5%

7

12,5%

2019

52

83,8%

10

16,1%

Total

101

100%

17

100%

Pada tabel 4.2 bahwa persentase HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan pada tahun 2018-2019.

Text Box: Keterangan:             

   Gambar 4.1 Grafik Persentase HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas

  Rawat Inap Simpur Tahun 2018-2019.

Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui jumlah HIV Reaktif berdasarkan jenis kelamin. Kelompok jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan pada tahun 2018-2019.

Tabel 4.3 Data HIV Reaktif berdasarkan Usia di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar                                                  Lampung Tahun 2018-2019.

Umur (Tahun)

2018

2019

Jumlah

Persentase (%)

Jumlah

Persentase (%)

£ 4

0

0

0

0

5-14

0

0

0

0

15-19

0

0

1

1,6

20-24

10

17,8

17

27,4

25-49

41

73,2

41

66,1

³ 50

5

8,9

3

4,8

Total

56

100

62

100

Dari tabel 4.3 bahwa persentase HIV Reaktif berdasarkan usia didapatkan jumlah tertinggi yaitu pada kelompok usia 25-49 tahun.

 


Pembahasan

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur pada tahun 2018 sebanyak 56 kasus HIV Reaktif terjadi peningkatan pada tahun 2019 menjadi 62 kasus HIV Reaktif dengan jumlah sampel 118 pasien HIV reaktif yang memiliki hasil pemeriksaan HIV Reaktif dari 1.304 pasien yang melakukan pemeriksaan HIV selama 2 tahun mengalami peningkatan. Dari 15 Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung menempati urutan tertinggi berjumlah 312 kasus (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2016). Banyak faktor risiko penularan IMS yang telah diidentifikasi termasuk yang menyangkut kesehatan dan perilaku seksual seperti jumlah pasangan seksual, usia saat berhubungan seksual pertama kali, serta variabel demografis seperti usia, ras, tempat tinggal, status ekonomi dan status sosial (Dessunti, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Simpur, persentase HIV Reaktif lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki pada tahun 2018 sebanyak 49 pasien (87,5%) dan pada tahun 2019 sebanyak 52 pasien (83,8%). Pada jenis kelamin perempuan pada tahun 2018  sebanyak 7 pasien (12,5%) dan pada tahun 2019 sebanyak 10 pasien (16,1%). Berdasarkan laporan SIHA tahun 2017, menurut kelompok berisiko, LSL (Lelaki Seks Lelaki) menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif yang melakukan tes HIV, yaitu 6,94%, sedangkan Sero Discordant (salah satu pasangan memiliki HIV, sementara yang lain tidak), dan Pelanggan PS (Pekerja Seks) menempati peringkat pertama dan kedua, yaitu 84,91% dan 9,36% (Pusdatin, 2017). Hasil penelitian ini sejalan dengan data Profil Kesehatan RI 2017 yaitu infeksi HIV terbanyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 63,3% dan pada perempuan sebanyak 36,7%. Prevalensi pada laki-laki disebabkan oleh beberapa hal diantaranya laki-laki memiliki tingkat mobilitas lebih tinggi dari pada perempuan yang pekerjaannya lebih banyak di dalam rumah, gejala klinis pada laki-laki lebih terlihat dari pada perempuan yang biasanya bersifat asimtomatik serta karena faktor risiko pada penelitian ini lebih banyak laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki yang istilahnya disebut LSL yang selama ini dihubung-hubungkan dengan tingginya angka prevalensi IMS terutama HIV (Sridana, 2012).

Prevalensi tingginya IMS pada homoseksual dikarenakan beberapa hal yaitu, seks anal menjadi pilihan utama bagi pasangan homoseksual sehingga kemungkinan terjadinya luka atau lecet ketika penetrasi anal

lebih tinggi, banyaknya pasangan homoseksual yang melakukan seks tanpa kondom, laki-laki homoseksual dapat memiliki lebih dari satu pasangan seks, pasangan homoseksual yang masih takut untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan karena stigma dan diskriminasi oleh masyarakat sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pemberian pengobatan IMS (Wolitski, 2011).

Pasien yang memiliki persentase pemeriksaan HIV Reaktif di Puskesmas Rawat Inap Simpur berdasarkan kelompok usia tahun 2018 menunjukan kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 41 pasien (73,2%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 10 pasien (17,8%), diikuti kelompok usia ³ 50 tahun sebanyak 5 pasien (8,9%), dan pada tahun 2019 menunjukkan kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 41 pasien (66,1%), kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 17 pasien (27,4%), terendah pada usia 15-19 tahun sebanyak 1 pasien (1,6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan data Profil Kesehatan RI 2017 yaitu infeksi HIV terbanyak terjadi pada usia produktif (15-49 tahun), kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja (Profil Kesehatan RI, 2017). Kelompok umur 25-49 tahun merupakan kelompok seksual aktif dan mobilitas pada kelompok umur tersebut juga tinggi, sedangkan penderita pada kelompok umur <4 tahun kemungkinan besar tertular secara vertikal dari ibunya (Dinkes Prov Bali, 2015).

Puskesmas Rawat Inap Simpur memiliki program pemeriksaan skrining tes HIV dalam rangka pemutusan mata rantai penularan dengan HIV positif yang dilakukan diluar puskesmas secara bergantian, pada kelompok beresiko, LSL, ibu hamil. Pasien yang dinyatakan Reaktif pada pemeriksaan skrining tes HIV akan mendapatkan VCT (Voluntary counselling and Testing) dan pemeriksaan CD4 serta Viral Load yang dirujuk ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek setiap setahun dua kali.

 

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI, 2019.       Laporan Perkembangan         HIV/AIDS dan Penyakit          Infeksi Menular Seksual            (PIMS) Triwulan II di Indonesia Januari s/d Juni     2019, Ditjen PP & PL             Kemenkes RI.

Dinas Kesehatan Provinsi, 2016         Profil Kesehatan Provinsi       Lampung Tahun 2016,            Pemerintah Provinsi           Lampung.

Dinas Kesehatan Provinsi, 2017         Profil Kesehatan Indonesia     Tahun 2017, Kementerian      Kesehatan Republik          Indonesia.

Siti, BK, 2013. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium   Edisi Kelima,   Jakarta: FKUI.

Daili, Sjaiful Fahmi; Wresti    Indriatmi B. Makes; Farida     Zubier, 2014. Infeksi   Menular Seksual Edisi             Keempat, Jakarta: Badan        Penerbit FKUI.

Baratawidjaja, Karnen Garna: Iris      Rengganis. 2010. Imunologi   Dasar Edisi Kesembilan.        Jakarta: FKUI.

Kuswiyanto, 2016. Buku Ajar            Virologi untuk Analis Kesehatan, Jakarta: EGC.

Soedarto, 2010. Virologi Klinik,         Jakarta: Sagung Seto.

World Health Organization (WHO),     2010. HIV/AIDS Programmer.

World Health Orgazination (WHO), 2019. Fact-HIV AIDS.

PUSDATIN. 2017. InfoDatin             SITUASI UMUM HIV/AIDS   DAN TES HIV : Pusat Data    dan Informasi Kemenkes       Republik Indonesia.

Dessunti EM, Reis AOA.       Psychosocial and behavioural             factors associated to   STD/AIDS risk among health students. Rev Lat Am             Enfermagem.   2007;15(2):267-74.

Sridana ME, Indrayani AW.   Karakteristik Pasien pada       Infeksi Menular Seksual         (IMS) Pada Puskesmas II             Denpasar Selatan Periode       Januari-Juni Tahun      2012.   ojs unud [Internet]. 2012.

Wolitski RJ, Fenton KA. Sexual        health, HIV and sexually        transmitted infections             among             gay, bisexual and other men           who have sex with men in the            United             States. AIDS Behav. 2011;15;9-17.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Profil             Kesehatan Provinsi Bali          [internet].        2015;142.       

 

Komentar

Postingan Populer